Senin, 26 April 2010

latihan,,,

Koran Japan Times
Selasa, 20 Mei 2008

Kebangkitan Homeschooling
Pendidikan rumah telah meraih popularitas tahun-tahun
belakangan ini di banyak bagian dunia, dengan lebih
banyak keluarga mencari alternatif dari pembelajaran
berbasis sekolah. Namun di Jepang, para pakar
mengatakan bahwa tetap saja sulit bagi anak-anak untuk
dididik di luar sistem sekolah, dengan minimnya
dukungan pemerintah -atau pun pengertian- terhadap
kebutuhan untuk mendiversifikasi pendidikan anak.
Di Amerika Serikat, diperkirakan 1,1 juta pelajar
menjalani homeschooling pada musim semi 2003, yakni
2,2% dari semua pelajar dari TK hingga kelas 12,
menurut laporan Pusat Nasional untuk Statistik
Pendidikan tahun 2006. Angka itu naik 29% sejak 1999,
ketika 850.000 pelajar diperkirakan menjalani
homeschooling.

Setsuko Miyai, profesor ilmu humaniora di Universitas
Toyo Gakuen, menulis dalam buku yang ikut disusunnya
tahun 2007, berjudul "Di Antara Individu dan Negara",
bahwa di AS pendidikan rumah tumbuh dari gerakan
antibudaya akhir 1960-an sampai awal 70-an. Kemudian
pada akhir 70-an, John Holt, seorang pendidik, mulai
mengadvokasi pemisahan pendidikan dari sekolah-sekolah.
Holt meninjau orang tua sebagai fasilitator, bukan
pengajar, dari proses pembelajaran mandiri oleh anak.

Miyai menggarisbawahi alasan-alasan berbeda di antara
mereka yang memilih homeschooling. Beberapa menolak
sifat sistem pendidikan sekolah moderen yang
distandardisasi dan berbasis kendali. Sementara yang
lain tidak percaya pada norma-norma, terutama nilai
moral, yang dipaksakan sekolah umum kepada para siswa.

Belakangan, kelompok ras Afrika-Amerika yang aktif
dalam pendidikan rumah, prihatin akan kegagalan
sekolah-sekolah yang ada menangani kesenjangan rasial
dalam prestasi akademik dan kebutuhan melestarikan
kebudayaan mereka, ujar Miyai. Setelah serangkaian
tuntutan hukum yang diajukan mengenai hak-hak
berhomeschooling, pendidikan rumah menjadi legal di
seluruh AS menjelang 1993.

Di Inggris, di mana pendidikan adalah wajib namun
kehadiran di sekolah tidak, UU Pendidikan mengatur
bahwa setiap anak usia wajib belajar harus memiliki
"pendidikan penuh-waktu sesuai usia, kemampuan, dan
kecakapannya dan semua kebutuhan akan pendidikan
istimewa yang mungkin dimilikinya, baik di sekolah
atau pun di tempat lain." Perkiraan jumlah pelajar
rumah bervariasi antara 7.400 sampai 34.400 orang,
lapor BBC News pada Februari 2007, yang mengutip studi
oleh Departemen Pendidikan dan Keahlian.

Jaringan pendukung bagi pendidik rumah telah tumbuh,
dengan kelompok penolong mandiri, Education Otherwise,
yang didirikan oleh beberapa orang tua tahun 1977,
telah berkembang menjadi organisasi beranggota 4.000
orang tahun 2005.

Di dunia, pendekatan pada pendidikan rumah bervariasi
dari tiap negara, tergantung pada apakah negara
tersebut memandang sekolah sebagai wajib atau tidak,
kata Yoshiyuki Nagata, profesor pembantu bidang
pendidikan di University of Sacred Heart, yang
melakukan riset pada bentuk alternatif pendidikan,
termasuk pendidikan rumah. Namun, dengan peluncuran
PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) dari
OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi)
pada tahun 2000, lebih banyak negara, terutama Eropa,
semakin banyak merujuk pada sekolah guna meningkatkan
literasi di antara warga negaranya, kata Nagata.

"Banyak negara, termasuk Jepang, yang menderita apa
yang disebut 'kejutan PISA'. Mereka kalang kabut
mencari cara mengatasi hasil buruk negaranya," kata
Nagata. "Dalam artian itu, lebih banyak perhatian
diberikan pada pendidikan berbasis sekolah. Namun pada
saat yang sama, definisi tentang kemampuan akademik
juga semakin beragam. Pendidikan alternatif bisa jadi
lebih baik dalam menolong anak-anak memperoleh
keterampilan menyelesaikan masalah, wawasan, dan
kebijaksanaan."

Memang demikian, seperti yang didemonstrasikan para
remaja Inggris yang dididik di rumah, saat turut serta
dalam kompetisi robotik di Tokyo, anak-anak yang
dididik di rumah sering kali merupakan para pelajar
yang maju di bidang-bidang tertentu, karena mereka
tidak dipaksa untuk belajar mata pelajaran pokok.

Menurut laporan tahun 2002 oleh Paula Rothermel dari
Universitas Durham, Inggris, yang menilai perkembangan
psikososial dan akademik peserta homeschooling usia 11
dan lebih muda, anak-anak yang dididik di rumah itu
ditemukan lebih matang secara sosial dan berprestasi
akademik lebih baik daripada anak-anak yang dididik di
sekolah.

Heidi De Wet, salah satu dari tiga mentor yang
menyertai anak-anak Inggris tersebut ke Tokyo, menolak
persepsi umum bahwa anak-anak homeschooler kekurangan
kecakapan sosial, dengan mengatakan bahwa anak-anak
yang dididik di rumah bergaul dengan baik dengan orang
-orang dari kelompok usia yang berbeda-beda.

"Seorang anak yang dididik di rumah akan melihat
ruangan yang penuh orang dan memutuskan,'Aku mau bicara
pada nenek di sana itu atau anak kecil di sana atau
anak seusiaku atau remaja itu atau siapa pun,'" kata De
Wet. "Usia tidak membuat perbedaan bagi mereka,
sementara seorang anak sekolah akan bilang,'Ooh, aku 10
tahun, di sini nggak ada orang lain yang 10 tahun, jadi
nggak ada siapa-siapa yang bisa aku ajak ngobrol.'"

Di Jepang, di mana kehadiran di sekolah adalah wajib,
pendidikan rumah bukan pilihan yang populer, meskipun
masalah bolos yang mempengaruhi lebih dari 120.000
siswa SD sampai SMA, dan penggertakan (bullying)
merupakan masalah berkepanjangan. Banyak orang tua yang
bahkan tidak tahu bahwa gagasan mendidik anak di luar
sekolah itu ada, kata Kyoko Aizawa, pendiri Otherwise
Japan, sebuah kelompok pendukung pendidikan rumah,
dengan memberikan catatan bahwa banyak anak-anak dan
keluarga yang melaksanakan pendidikan rumah
melakukannya dengan rahasia, dan kerap kali menerima
diskriminasi dari masyarakat tempat tinggal mereka.

Tetapi dengan begitu banyak masalah di sekolah-sekolah
Jepang, baik sekolah maupun orang tua selayaknya
berpikir lebih keras tentang cara-cara saling menolong
sehingga semua anak dapat memiliki akses pada
pendidikan, kendati di mana pun tempat mereka belajar
atau apakah mereka mengikuti kurikulum pemerintah atau
pun tidak, kata Aizawa.

"Pendidikan rumah bukan tentang menghapuskan atau pun
menjelek-jelekkan sekolah, juga bukan mengunci anak-
anak di dalam rumah dan membuat mereka mengerjakan
soal-soal dari pendidikan jarak jauh," kata Aizawa.
"Pendidikan rumah adalah tentang mengakar pada masyarakat, dan
memberikan bantuan bersifat mendidik kepada anak-anak
pada setiap kesempatan sedapat mungkin."

(Oleh Tomoko Otake)###

Lagi, Nissan Bantu Pendidikan
Sabtu, 10 April 2010 | 02:28 WIB
Besar Kecil Normal

Manajemen PT Nissan Motor Indonesia (NMI) berfoto bersama guru dan murid TK/TPA Nurul Ihsan Bekasi, setelah penyerahan bantuan pendidikan Nissan Sahabat Anak Indonesia (NSAI). (Dok. Nissan Motor Indonesia)
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komitmen PT Nissan Motor Indonesia (NMI) dalam memberikan dukungan terhadap dunia pendidikan terus ditunjukkan. Agen Tunggal Pemegang Merek Nissan di Indonesia itu memberikan bantuan kepada Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-quran (TPA) Nurul Ihsan, Bekasi, akhir pekan kemarin.
Bantuan yang diberikan berupa perangkat komputer lengkap, buku-buku untuk keperluan perpustakaan, meja dan kursi untuk kebutuhan belajar di kelas, serta seperangkat permainan.
“Semoga bantuan ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para guru dan seluruh murid dalam menunjang kegiatan belajar dan mengajar," kata Chetryana Gunardi, Deputy Director GA NMI dalam keterangan persnya yang diterima Tempo.
Ia menyebutkan pemberian bantuan ini merupakan bagian dari program Nissan Sahabat Anak Indonesia (NSAI). Program ini suatu kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Nissan dalam usaha membantu pendidikan di Indonesia.
"Kami sangat peduli pada pendidikan dasar anak-anak. Di Nissan, kami percaya bahwa pendidikan yang baik akan memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan masa depan dan kehidupan yang baik pula,” kata Chetryana menambahkan.
RAJU FEBRIAN



Edisi 01 April 2010

MK Selamatkan Pendidikan
Keberanian Mahkamah Konstitusi meluruskan haluan pendidikan di negeri ini patut dipuji. Majelis Hakim Konstitusi mengoreksi Undang-Undang Pendidikan sekaligus membatalkan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan. Soalnya, lewat kedua undang-undang ini, warga negara dibebani tanggung jawab besar untuk membiayai pendidikan. Padahal, sesuai dengan konstitusi, pendidikan bukanlah beban melainkan justru merupakan hak warga negara.
Prinsip yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu dilihat secara jeli oleh para pemohon uji materi. Mereka berasal dari berbagai elemen pendidikan, seperti mahasiswa, pengajar, pengurus yayasan pendidikan, dan orang tua murid. Dengan pertimbangan yang jernih dan cerdas, akhirnya kemarin MK mengabulkan sebagian besar permohonan itu.
Haluan yang mulai melenceng itu tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di situ dinyatakan: setiap warga negara bertanggung jawab atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Selaras dengan keinginan pemohon, Majelis Hakim Konstitusi kemudian mengoreksi kata “bertanggung jawab” dalam pasal ini menjadi “ikut bertanggung jawab”.
Kelihatannya sepele, tapi perlu dikoreksi karena UUD 1945 menempatkan urusan pendidikan sebagai tanggung jawab negara. Apalagi, pasal itulah--bersama Pasal 53 mengenai badan hukum pendidikan--pijakan lahirnya UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam Pasal 53 dinyatakan bahwa setiap penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan. MK pun mengoreksi pasal ini dengan menyatakan bahwa badan hukum dimaknai hanya sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
Dengan filosofi yang sama pula, MK membatalkan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan. Inilah undang-undang yang mengatur lebih terperinci beban warga negara atas pendidikan. Di situ diatur antara lain: setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jelas, ketentuan ini amat memberatkan orang tua murid. Semangatnya tidak sesuai dengan konstitusi yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara.
Undang-undang itu memang menyatakan, sekolah atau badan hukum pendidikan wajib menyediakan beasiswa untuk peserta didik dari keluarga yang kurang mampu. Tapi ketentuan seperti ini tetap menabrak konstitusi. Negara, yang seharusnya memberikan hak pendidikan, seolah memindahkan kewajiban ini ke sekolah atau badan hukum pendidikan.
Prinsip penyeragaman yang dianut undang-undang itu juga akan sulit dilaksanakan, karena kenyataannya pendidikan kita dikelola oleh banyak pihak, mulai yayasan hingga semacam perkumpulan. Inilah yang mendorong MK mencabut Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Apalagi, seperti yang dipraktekkan dalam perguruan tinggi negara sekarang, konsep badan hukum justru membuat biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh warga kebanyakan.
Dengan mengoreksi konsep yang salah kaprah itu, MK telah menyelamatkan pendidikan kita. Negara memang tidak sepantasnya lepas tangan soal pendidikan, karena hal itu tak hanya akan membuatnya semakin amburadul, tapi juga akan menciptakan ketidakadilan.




Jumat, 28 Agustus 2009 08:06 WIB Media Indonesia
Terdidik Tapi Menganggur
EDITORIAL Media Indonesia 21 Agustus 2009 (selanjutnya Editorial) menyoroti isu pengangguran terdidik. Peningkatan jumlah pengangguran terdidik yang melonjak dua kali lipat dalam kurun waktu kurang dari lima tahun adalah fenomena yang memprihatinkan dan perlu dicari akar masalah dan solusinya.
Editorial tersebut mengemukakan beberapa argumen mengapa kita harus waspada terhadap peningkatan jumlah pengangguran terdidik di samping mengusulkan solusi. Tulisan ini mencoba melakukan tinjauan kritis atas argumen-argumen itu dan sekaligus mencoba menawarkan solusi alternatif meskipun mungkin ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban dalam tulisan ini.
Pengangguran terdidik mengkhawatirkan karena dapat mengakibatkan bermunculannya masalah sosial. Di antara masalah sosial yang mungkin muncul adalah kemungkinan meningkatnya aktor intelektual yang begerak di wilayah kriminal, dengan kata lain ada kemungkinan modus kriminalitas makin beragam, canggih dan pintar.
Argumen ini sangat menarik meskipun tentu perlu dikritisi karena secara mendasar dapat dipertanyakan apakah memang ada data yang mendukung hubungan langsung antara peningkatan pengangguran terdidik dengan tingkat keragaman dan kecanggihan kejahatan. Kejahatan intelektual juga mungkin lebih banyak dilakukan oleh mereka yang bekerja, bukan penganggur, karena domain kejahatan ini umumnya terkait langsung dengan manipulasi di tempat kerja.
Berikutnya, pengangguran terdidik adalah cerminan dari inefisiensi atau pemborosan uang negara karena alokasi yang demikian besar dari APBN untuk sektor pendidikan menjadi sia-sia karena hanya menghasilkan penganggur. Argumen ini menurut saya erat terkait dengan argumen berikutnya yaitu bahwa pengangguran terdidik dapat menyebabkan menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi.
Sungguh kedua argumen ini perlu direspons secara serius terutama bukan hanya pemerintah tetapi juga institusi penyelenggara pendidikan tinggi itu sendiri. Kedua argumen ini mempertanyakan akuntabilitas dan relevansi perguruan tinggi di tengah masyarakatnya. Fundamen eksistensial pendidikan tinggi diragukan dan diuji kekukuhannya.
Dalam hal ini layak kiranya direnungkan pertanyaan mengenai dasar pendirian perguruan tinggi dan urgensi pendidikan tinggi bagi pembangunan masyarakat dan bangsa. Sudah terlalu lama birokrat pendidikan dan akademisi mengabaikan dasar filosofis pendidikan tinggi dan perguruan tinggi.
Diskusi nasional yang serius dan komprehensif perlu dilakukan segera sebelum pendidikan tinggi kita benar-benar kehilangan arah dan semata-mata berdiri demi alasan pragmatis dan jangka pendek.
Editorial menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus mewujudkan pendidikan yang berbasis pasar kerja. Pernyataan ini bisa menjadi tema utama diskusi tersebut karena mengundang banyak pertanyaan filosofis apakah memang benar kehadiran perguruan tinggi adalah untuk menyuplai tenaga kerja bagi pasar kerja ataukah untuk menghasilkan manusia merdeka yang cerdas dan terdidik (intelektual)?
Mengapa menganggur?
Harapan dan motivasi masyarakat bahwa pendidikan tinggi dapat meningkatkan status finansial dan atau status sosial dilandasi oleh asumsi bahwa sistem meritokratik berjalan. Namun dalam kenyataannya, meskipun telah mengeluarkan biaya yang begitu besar, insentif terhadap lulusan perguruan tinggi tidak memadai, apalagi jika lulusan tersebut kemudian menganggur. Mengapa seorang sarjana menganggur adalah pertanyaan yang tampak sederhana tapi sesungguhnya rumit.
Editorial menunjuk pemerintah yang tidak sanggup menciptakan lapangan kerja bagi sarjana baru. Tapi apakah memang ini tugas pemerintah semata-mata? Jika pun benar, dengan cara apa pemerintah dapat menyediakan lapangan kerja? Menyediakan lapangan kerja secara masif di pemerintahan dan perusahaan milik pemerintah bukan solusi karena dapat meningkatkan inefisiensi.
Menyediakan lapangan kerja sementara sebagai sukarelawan mungkin bisa diupayakan tetapi apakah ini solusi permanen atau sekedar upaya tambal sulam dalam jangka panjang? Juga, bukankah tersedianya lapangan kerja di era ekonomi pasar global ini lebih banyak ditentukan oleh dinamika dunia kerja swasta yang sangat erat terkait dengan fluktuasi ekonomi supermakro?
Perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan lulusan dengan keterampilan wirausaha. Pemerintah pun melalui Ditjen Dikti telah menyediakan berbagai fasilitas dan dukungan untuk program kewirausahaan bagi mahasiswa. Tetapi apakah memang semua sarjana mau (di)jadi(kan) wirausahawan? Bukankah menjadi wirausahawan juga sangat ditentukan oleh minat dan pilihan (dan mungkin juga talenta) dan untuk sukses sangat tergantung pada faktor eksternal seperti dukungan finansial dan (lagi-lagi) pertumbuhan ekonomi?
Sarjana dituntut untuk siap kerja. Tapi diskusi mengenai ini rasanya sudah usang karena saya ingat argumen Prof Andi Hakim Nasoetion (legenda IPB) belasan tahun lalu bahwa perguruan tinggi tidaklah bertugas menghasilkan sarjana yang siap kerja melainkan menghasilkan manusia-manusia kritis dan cerdas (dengan kata lain intelektual). Instansi dan perusahaan lah yang harus melatih sarjana agar secara spesifik siap bekerja sesuai dengan tugas kerjanya.
Namun memang benar bahwa banyak perguruan tinggi yang terjebak untuk semata-mata menyesuaikan kurikulumnya dengan permintaan dan persyaratan dunia kerja. Tetapi dengan cara yang keliru pula. Mengapa keliru? Karena sistem pemantauan kondisi kerja belum berjalan baik di Indonesia, perguruan tinggi sibuk menyiapkan lulusannya dan membekalinya dengan berbagai pengetahuan teoretis dan keterampilan spesifik disiplin ilmu. Tidak disadari bahwa di era masyarakat berbasis pengetahuan-sains-teknologi-informasi-virtual ini pengetahuan teknis cenderung cepat menjadi usang. Apa yang dipelajari di bangku kuliah sudah berubah saat mahasiswa tersebut lulus.
Demikian juga ada perubahan mendasar di dunia kerja global yang seperti ditengarai Teichler (2008) bahwa persyaratan kerja kini menjadi semakin generik dan bukannya spesifik. Hasil Tracer Study Universitas Indonesia 2008 menunjukkan bahwa lulusan mempersepsikan pengetahuan teoretis dan spesifik disiplin ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi sudah melampaui kebutuhannya di dunia kerja. Sedangkan keterampilan lunak (softskills) masih kurang dibekali sehingga ada jurang antara softskills yang diperoleh (acquired) dan yang diperlukan (required) di dunia kerja.
Berdasarkan evidens ini maka perubahan kurikulum lebih baik diarahkan untuk dapat mengisi kekurangan softskills seperti keterampilan organisasional, kemampuan adaptif, keterampilan belajar sepanjang hayat, keterampilan komunikasi interpersonal, daya kritis dan kreatif, kemampuan menembus batas-batas disiplin ilmu, pemahaman sosio-kultural mondial, serta keterampilan bekerjasama dalam tim. Jika kita perhatikan, semakin banyak iklan lowongan kerja yang mensyaratkan keterampilan lunak dan bahkan tidak mengkhususkan pada disiplin ilmu tertentu.
Schomburg (2009) menyatakan pentingnya menghasilkan sarjana yang mampu mengritisi dan mengubah persyaratan kerja bukan sekedar yang sesuai dengan persyaratan kerja. Diskusi mengenai link and match perlu memperhatikan aspek dinamika persyaratan kerja, pendekatan pembelajaran serta matching (atau tepatnya mismatching) horisontal (terkait disiplin ilmu) dan vertikal (terkait level kesarjanaan).
Terakhir, kita perlu memiliki data dan informasi yang relevan, akurat, dan mutakhir mengenai hubungan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. Saya sepakat dengan Editorial bahwa pemerintah, sejak dulu, tidak pernah memiliki konsep yang tegas dan terencana tentang keterkaitan antara pendidikan dan lapangan kerja. Pendidikan dilaksanakan sebagai amanat konstitusi semata.
Dalam hal ini dua departemen yaitu Depdiknas dan Depnakertrans perlu duduk bersama untuk melakukan kajian dan analisis terhadap hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja. Perguruan tinggi di sisi lain harus mengaplikasikan Tracer Study yang terinstitusionalisasi, sistematik, standar, komparabel dan reguler agar diperoleh masukan yang akurat mengenai situasi transisi lulusannya dari kampus menuju kerja. Tracer Study memiliki potensi manfaat yang sangat besar untuk mengetahui relevansi perguruan tinggi dan mengevaluasi proses, output, dan outcome pembelajaran. Sayangnya sampai saat ini, Tracer Study masih dilaksanakan dan diperlakukan semata-mata sebagai syarat bagi borang akreditasi. ***
Ahmad Syafiq, PhD
Peneliti Tracer Study UI, alumnus University Staff Development Program (UNISTAFF), University of Kassel, Jerman
Report By : Ahmad Syafiq, PhD

Lagi, Soal Pungli di Sekolah
Diterbitkan Juli 18, 2008 Pendidikan Tinggalkan a Komentar
Masa penerimaan siswa baru (PSB) telah berakhir minggu lalu. Setelah siswa mengikuti masa orientasi sekolah (MOS), pekan depan mereka mulai belajar di sekolah yang baru. PSB ternyata tak berhenti sampai di situ karena masih menyisakan persoalan, khususnya menyangkut pungutan liar (pungli).
Selama musim PSB, harian ini terus-menerus menggulirkan berita mengenai pungli di sekolah-sekolah negeri. Keluhan orangtua siswa, yang harus merogoh kocek jutaan rupiah untuk menyekolahkan anak, sungguh memprihatinkan kita. Apalagi hal itu terjadi pada saat kondisi perekonomian masih sulit dan pungutan tidak didasari aturan jelas, sehingga patut disebut pungli.
Hampir setiap tahun media massa mengungkap kasus pungli di sekolah-sekolah negeri yang dilakukan guru dan kepala sekolah (kepsek). Dengan berbagai dalih siswa yang diterima lewat tes atau lolos seleksi nilai ujian nasional diwajibkan menyetor ratusan ribu hingga jutaan rupiah ke sekolah. Bahkan, ada juga yang berani menjual “bangku” sekolah kepada siswa yang sebetulnya tak lolos tes atau nilainya di bawah standar.
Tetapi, hampir tak terdengar kabar ada pelaku yang mendapat sanksi. Hal itu bisa dimaklumi karena otoritas pendidikan dan aparat penegak hukum hampir tak peduli dengan pemberitaan tersebut.
Baru pada tahun ini kita melihat adanya respons positif dari pejabat yang berwenang. Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepsek yang melakukan pungli bisa ditunda kenaikan pangkatnya, bahkan dipecat. Beberapa pejabat Kejaksaan Tinggi di daerah-daerah juga bergairah menanggapi instruksi dari Kejaksaan Agung untuk memantau PSB dan menindaklanjutinya jika ada temuan pungutan di luar ketentuan.
Semua itu menunjukkan perhatian terhadap masalah korupsi di dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah negeri, semakin intens. Tentu saja hal itu akan berdampak positif pada masa depan pendidikan Indonesia, apabila semua guru dan kepsek yang terbukti melakukan pungli diberi sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, efek jera bisa menular di sekolah-sekolah.
Sejauh ini kita melihat sebagian guru dan kepsek telah memanfaatkan PSB sebagai ajang mengeruk keuntungan pribadi. Berbekal Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), yang telah disetujui Komite Sekolah, mereka memeras orangtua siswa baru. Praktik itu selalu berulang setiap tahun karena kepada pelakunya tidak diberikan sanksi. Mereka tetap leluasa bergerak, bahkan tak jarang di-back up pejabat Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota. Sebuah kolusi yang sempurna untuk memeras orangtua siswa.
Keberanian aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan dan Kepolisian, untuk menindaklanjuti kasus pungli di sekolah, tetap kita tunggu. Jangan sampai aparat penegak hukum justru “mengolah” kasus tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kita berharap pungli di sekolah secepatnya diberantas. Respons Mendiknas dan aparat Kejaksaan, hendaknya diikuti pejabat lain, seperti Kepolisian dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Para pelaku pungli harus dijebloskan ke penjara, sehingga menimbulkan efek jera.
________________________________________
Suara Pembaruan: 18/7/08
Privatisasi Pendidikan
Diterbitkan September 1, 2007 Pendidikan 1 Comment

Satu bukti yang harus kita akui, selama ini pemerintah sangat sulit meningkatkan kualitas pendidikan.
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di DPR berjalan sangat alot. RUU tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Awalnya, rancangan yang mulai dibahas tahun 2004 ini ditargetkan selesai tahun 2006. Namun, target itu tak tercapai. Pemerintah kemudian mengharapkan tahun ini pekerjaan dewan tersebut bisa diselesaikan.
Dewan memang harus sangat hati-hati. Sejumlah pakar di bidang pendidikan dengan sangat konsisten mengemukakan berbagai alasan agar RUU tersebut ditolak. RUU BHP ini memang tidak berdiri sendiri. Selain UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, RUU BHP juga merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 26 dan Nomor 27 Tahun 2007 sebagai aturan pelaksanaan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam PP tersebut dicantumkan bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal. Di antara beberapa bidang usaha yang terbuka itu adalah bidang pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal. Batas kepemilikan modal maksimum 49%.
Ketentuan inilah yang kemudian banyak dipersoalkan, sampai akhirnya beberapa pakar pendidikan mengusulkan penolakan RUU BHP dijadikan undang-undang. Alasan utamanya, Indonesia belum mampu bersaing dengan bangsa lain yang pendidikannya sudah jauh lebih maju. Di samping itu dikemukakan pula prinsip yang lebih mendasar, pendidikan itu prinsipnya nirlaba sedangkan investasi bertujuan mendapatkan laba.
Tanpa harus berpikir lama, kita melihat alasan penolakan terhadap RUU BHP sangat masuk akal. Sebab memang demikianlah keadaannya di lapangan. Satu bukti yang harus kita akui, selama ini pemerintah sangat sulit meningkatkan kualitas pendidikan. Bukan hanya sebatas alokasi anggaran yang selalu menjadi bahan perdebatan panas, tetapi juga ada faktor-faktor lain yang tidak kurang pentingnya. Antara lain, kondisi masyarakat indonesia sendiri.
Di Jawa Barat, kondisi pendidikannya sudah kita rasakan bersama. Upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan IPM misalnya, belum juga berhasil. Padahal, gubernur sendiri telah mendukungnya dengan program Bagus (Bantuan Gubernur Khusus) meskipun baru sebatas bantuan terhadap siswa SD yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP/MTs.
Fakta di lapangan yang masih memprihatinkan itu tentu akan tambah parah jika investasi modal di bidang pendidikan diberlakukan saat ini juga. Semua memahami, pada dasarnya privatisasi pendidikan itu tidak jelek-jelek amat. Akan tetapi, kita bisa menimba pelajaran dari privatisasi pendidikan tinggi yang sudah berjalan beberapa tahun. Meskipun evaluasinya belum bisa dilakukan secara menyeluruh, keluhan sudah mulai terdengar. Artinya, masih ada yang harus lebih dibereskan.
Akan cukup bijaksana, mungkin, jika masyarakat diberi kesempatan lebih banyak dan lebih lama agar plus-minus privatisasi pendidikan dipertimbangkan dengan sangat matang. Kalau perlu, tidaklah usah dipaksakan supaya bisa disahkan tahun ini seperti yang diharapkan pemerintah. Atau mungkin diberlakukan berjenjang. Sementara ini, cukuplah kita semua merasakan apakah privatisasi pendidikan tinggi memang lebih bermanfaat daripada sebelumnya? Dalam arti manfaat tersebut memang dinikmati oleh rakyat indonesia secara menyeluruh, bukan hanya oleh kelas atas semata.***
Pikiran Rakyat, Sabtu, 01 September 2007
Kekerasan di Dunia Pendidikan
Diterbitkan Mei 14, 2007 Kekerasan , Pendidikan 3 Komentar - komentar

Apa yang bisa kita pahami mengenai kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan kita? Di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), dua kelompok saling baku bentrok untuk memperebutkan status yayasan yang mengelola perguruan tinggi tersebut. Akibat kekerasan itu sejumlah orang luka-luka, beberapa fasilitas kampus rusak, dan sekitar 15 ribu mahasiswa terpaksa tak bisa mengikuti kegiatan kuliah.
Sebelumnya, aksi kekerasan juga terjadi di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Di sini, sejumlah praja (mahasiswa) senior menendang, memukul, dan menganiaya para mahasiswa juniornya. Aksi kekerasan yang berdalih pembinaan kedisiplinan ini telah menyebabkan beberapa praja (junior) meninggal dunia dan lainnya cacat fisik dan mental.
Kekerasan serupa juga telah terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Makasar, Yogyakarta, Surabaya, dan daerah lain. Penyebabnya macam-macam. Dari ketidakpuasan terhadap proses pemilihan rektor, biaya kuliah yang dianggap mahal, hingga pengalihan status perguruan tinggi yang dinilai lebih berorientasi bisnis.
Bukan hanya di perguruan tinggi. Di SD, SMP, dan SMA, aksi kekerasan pun acapkali terjadi. Entah itu tawuran antar siswa maupun kekerasan yang dilakukan oleh guru. Yang terakhir ini biasanya dengan dalih memberi pembejaran kepada siswa yang mbadung, tidak disiplin, dan sebagainya.
Apapun penyebabnya, berbagai kekerasan di institusi pendidikan kita itu jelas memprihatinkan. Para mahasiswa/siswa merupakan generasi penerus. Mereka adalah para calon pemimpin bangsa dan negara. Bila semasa belajar mereka terbiasa dengan kekerasan, baik aktif (terlibat langsung) maupun pasif (menyaksikan), maka bisa dipastikan cara-cara kekerasan itu pulalah yang akan mereka tempuh untuk menyelesaikan segala perbedaan ketika mereka sudah menjadi ‘orang’.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan seluruhnya kepada mahasiswa/siswa. Berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan seringkali penyebabnya justru para ‘orang tua’. Di IPDN para dosen dan pengasuh seolah membiarkan praja senior berbuat sesuka hati terhadap juniornya. Dan, itu telah berlangsung selama tahunan. Di UISU dua pihak yang bersengketa terhadap kepemilikan/pengelolaan yayasan lebih memilih menyelesaikannya dengan cara-cara kekerasan daripada jalur hukum. Sedihnya, mereka, para ‘orang tua’, itu sengaja melibatkan pada mahasiswa untuk membela kepentingan mereka.
Sedangkan kekerasan yang sering terlihat di sejumlah kampus lain biasanya terjadi lantaran mahasiswa lebih dipandang sebagai objek dan bukan subjek. Segala keputusan yang menyangkut perguruan tinggi, terutama mahasiswa, acapkali diambil secara sepihak oleh rektorat tanpa melibatkan mahasiswa. Begitu pula kekerasan yang berlangsung di sekolah-sekolah. Para guru seolah punya hak prerogatif memutuskan dan berbuat sesukanya terhadap para siswa yang dianggap mbeling.
Bila semua ini terus berlangsung di institusi-institusi pendidikan kita, lantas apa jadinya bangsa dan negara ini. Hukum hanya akan menjadi asesoris. Sedangkan yang berlaku hukum rimba, adu otot, dan anarkisme.
Berbeda pendapat tentu saja boleh. Berunjuk rasa juga boleh. Bahkan yang terakhir ini merupakan salah satu ciri demokrasi. Yang tidak boleh adalah menyelesaikan perbedaan pendapat dengan kekerasan dan anarkisme. Karena itu, barangkali ada baiknya bila tema-tema seperti demokrasi, menghargai pendapat orang lain, dan penyelesaian perbedaan pendapat dijadikan kurikulum di kampus-kampus dan sekolahan kita. Tentu saja para ‘orang tua’ –rektor dan pembantunya, dosen, dan guru-guru– harus menjadi teladan terlebih dulu.
Para mahasiswa/siswa merupakan calon pemimpin bangsa. Selain menimba ilmu pengetahuan, mereka juga harus diajarkan cara-cara bermasyarakat dan tata hidup yang baik. Tanpa ini semua, kekerasanlah yang akan jadi hukum.
Republika, Senin, 14 Mei 2007
Formalisme Ijazah yang Menyesatkan
Diterbitkan Maret 16, 2007 Pendidikan 1 Comment

RANCANGAN perubahan paket undang-undang bidang politik mulai digelindingkan ke publik untuk didengar dan dievaluasi. Salah satu yang menonjol adalah dicantumkannya syarat sarjana bagi calon presiden, anggota DPR, dan DPD. Syarat itu naik satu tingkat karena dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tercantum ketentuan bahwa seorang presiden, anggota DPR, dan DPD cukup berijazah SMA.
Syarat seperti itu lagi-lagi memperlihatkan betapa pikiran tentang kualitas di negeri ini sangat formalistis. Yang bermutu selalu berarti produk pendidikan formal. Padahal yang dibutuhkan sesungguhnya adalah kecakapan. Seorang pemimpin atau para elite yang cakap berlogika atau yang memiliki inteligensia dan cakap mentalitas. Dan, harus disadari benar bahwa kecakapan seperti ini tidak semata-mata lahir dari pendidikan formal.
Apa yang terjadi selama ini? Formalisme ijazah menghasilkan pula mentalitas formalistis. Andai pemilu dilaksanakan bulan depan dengan syarat seorang presiden dan para calon anggota DPR harus bergelar profesor doktor, dalam sebulan akan lahir ribuan profesor doktor dengan begitu gampangnya. Soal kecakapan yang menyangkut kapasitas dan kapabilitas tidaklah penting. Formalisme ijazah telah menyuburkan mentalitas sakit.
Selain bahaya formalisme, syarat sarjana adalah pelanggaran hak asasi warga yang dijamin dalam undang-undang dasar. Undang-undang dasar menegaskan dengan jelas, jabatan presiden, termasuk anggota DPR, terbuka bagi semua orang. Itu berkorelasi dengan hak setiap warga negara untuk berbicara dan berorganisasi.
Ketika undang-undang mengatur syarat bahwa seorang presiden dan para anggota DPR serta DPD harus sarjana, undang-undang itu menutup peluang bagian terbesar rakyat Indonesia untuk menjadi presiden atau anggota DPR. Itu artinya juga undang-undang telah membelokkan DPR dan presiden dari hakikat sebagai salah satu tonggak institusi demokrasi menjadi institusi akademik.
Syarat sarjana hanya bisa diterima dari perspektif HAM dan demokrasi apabila negara telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perkara mencerdaskan rakyat. Misalnya, seluruh anak Indonesia usia sekolah telah, sekurang-kurangnya, menikmati pendidikan SD sembilan tahun atau SMA yang murah dan bahkan gratis. Atau kalau negara telah melaksanakan pendidikan tinggi yang murah dan terjangkau oleh semua anak bangsa ini.
Pendidikan menengah, apalagi perguruan tinggi, masih menjadi barang mewah di Indonesia. Perguruan tinggi di negeri ini hanya menampung tidak lebih dari 10% seluruh warga negara. Bila sarjana menjadi syarat, yang berhak menjadi anggota DPR dan presiden hanyalah 10% dari penduduk. Lalu, di mana hak yang 90% itu? Apakah mereka kehilangan hak karena tidak menginjak bangku perguruan tinggi? Itu pengkhianatan serius terhadap konstitusi dan demokrasi.
Lalu, di manakah kesempatan bagi warga negara yang cakap dan kompeten karena autodidak? Atau yang cakap pada bidangnya karena pengalaman menggeluti pekerjaan di luar jalur pendidikan formal? Dengan mengedepankan ijazah kita mengubah lembaga presiden dan parlemen dari esensinya sebagai lembaga politik dan demokrasi menjadi lembaga profesi. Itu kekeliruan serius. Karena tidak ada, dan tidak perlu ada, sekolah khusus untuk menjadi presiden dan anggota DPR.
Karena itu, tugas partai politiklah untuk menemukan calon-calon yang memiliki kecakapan dalam berbagai bidang agar menjadi kadernya. Dan, sekali lagi, calon yang cakap bisa lahir dari berbagai jalur dan bidang. Perguruan tinggi hanyalah salah satu.
Kecakapan amat mendasar yang menjadi kebutuhan setiap warga negara adalah kemampuan hitung, baca, dan tulis. Itulah tugas negara yang relatif telah dilaksanakan secara baik. Walaupun angka buta huruf masih tinggi, tidak lagi menjadi penyakit mayoritas penduduk Indonesia.
Syarat itu aman dari perspektif demokrasi, aman dari perspektif HAM, dan aman dari segi prestasi yang telah dicapai negara atau pemerintah dalam mencerdaskan bangsanya.
Media Indonesia, Jum’at, 16 Maret 2007
Harus Matang, Standarisasi Pendidikan
Diterbitkan Desember 4, 2006 Pendidikan 3 Komentar - komentar

Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sedang mengembangkan pendidikan ke arah standarisasi serta sertifikasi.
Di dalam konsep ini, semua instrumen yang terlibat dalam pendidikan, haruslah bekerja secara profesional. Untuk mencapai itu, maka pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan-aturan ideal. Aturan standar itu meliputi isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian. Semuanya indikator tersebut dijadikan sebagai panduan dalam menyusun standar tadi.
Dalam kerangka itulah, misalnya, BSNP menyusun sebuah panduan tenaga pendidikan. Tenaga pendidikan yang dikatakan sebagai memenuhi syarat memiliki aturan khusus, termasuk pendidikan dan sertifikasinya. Maka guru di seluruh lembaga pendidikan diasumsikan akan memiliki kemampuan yang kurang lebih sama sehingga dapat mencapai tujuan pemerintah.
Langkah berikutnya oleh BSNP adalah sarana sekolah. BSNP juga menyusun rambu-rambu dalam hal jumlah murid dalam satu kelas, jumlah ruang kelas, ruang perpustakaan sampai ruang guru. Menurut anggota BSNP, hal ini dilakukan supaya sekolah tidak dijadikan sebagai ruang yang dipaksakan. Jadi baik di kota maupun di desa, akan ada standar ideal dimana setiap sekolah mengupayakan mencapainya.
Di negeri ini yang namanya aturan dan berbicara soal “ideal-ideal,” bahkan dalam istilah standar sekalipun, setiap pejabat amat mahir. Mereka bisa berbicara mengenai sesuatu yang ingin dicapai. Karena apa? Karena memang pencapaian dari penyusunan sebuah standar amatlah mudah. Pejabat pendidikan tinggal mengumpulkan para staf ahlinya dan kemudian mengadakan rapat.
Tetapi bagaimana dengan hasilnya. Tunggu dulu. Sebab pendidikan kita tidak memiliki kaitan dengan dunia pragmatis. Persoalan apakah yang direncanakan atau distandarkan akan dilakukan atau tidak, pemerintah kelihatannya tidak mau terlalu memikirkannya.
Bagaimana BSNP bisa menyusun sebuah langka standarisasi sementara dengan jelas kita tahu bahwa regulasi mengenai pendidikan masih banyak bolongnya. Ambil contoh mengenai sertifikasi guru. Karena usulan itulah maka banyak guru kemudian melakukan aksi sederhana berupa membeli gelar dan sertifikat mengajar misalnya. Mereka tidak punya waktu dan tidak punya tenaga untuk berbagi antara mengajar sebagai usaha memenuhi kebutuhannya dengan mengantisipasi diri mengejar tuntutan profesional.
Logika material jelas lebih banyak bermain di dalam pikiran para pejabat Departemen Pendidikan Nasional. Dalam kasus Ujian Nasional, mereka lebih banyak bermain mengenai logika bahwa jika nilai UN “ditarik” ke atas, maka nilai tersebut akan mendorong prestasi.
Sayangnya, logika tersebut dipermainkan di tingkat “lapangan”. Para guru kemudian menggunakannya sebagai sarana untuk menambah income dan kemudian melakukan kecurangan dengan membeli soal atau memecahkan soal ujian ketika ujian sedang berlangsung. Bukankah Menteri Pendidikan Nasional tidak mungkin mengawasi setiap ruang ujian?
Kembali dalam soal standar tadi. Pemerintah kita harapkan jangan terlalu banyak sekali bermain aturan dan cara-cara yang akhirnya sia-sia. Sekarang ini ada setengah ruang kelas mengalami kerusakan parah. Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan terhadap hal itu sebagai cermin keseriusan. Lagipula, alangkah lebih baiknya jika pemerintah berupaya menambah dana untuk pendidikan sesuai amanah undang-undang daripada menyusun standar pendidikan yang merupakan amanah undang-undang pula. Isi undang-undang seharusnya tidak dipilah dan dipilih demi kepentingan popularitas pemerintah semata. Kalau jaminan kesejahteraan guru dan kualitas fisik sekolah diperbaiki, barulah pemerintah bebas menetapkan apa saja. (***)
Sinar Indonesia Baru, 4 Desember 2006

Di Bawah ‘Sandera’ Kurikulum
Diterbitkan Oktober 4, 2006 Kurikulum Pendidikan Media Indonesia, Rabu, 04 Oktober 2006
KURIKULUM pendidikan Indonesia rupanya terus ditakdirkan berada dalam dunia yang berbeda. Dunia ideal untuk memperbaiki mutu pendidikan dan tataran praksis yang justru menghasilkan kenyataan sebaliknya. Dari sudut pandang pemerintah, kurikulum sering dianggap seperti ‘mantra baru’, sementara publik justru menganggapnya sebagai ‘petaka baru’.
Kurikulum sering dinilai tidak hanya menjadi momok, tetapi juga mengganggu dunia pendidikan. Pendidikan kita seperti disandera oleh sistem kurikulum yang tak kunjung menghasilkan apa yang ada dalam cita-cita ideal kita.
Seperti juga sekarang telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004. Kurikulum yang sesungguhnya belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan, di beberapa sekolah masih ada yang melaksanakan Kurikulum 1994.
Seperti yang sudah-sudah, munculnya kurikulum baru itu juga disambut kontroversi. Ada yang optimistis dan juga sebaliknya. Yang optimistis berkeyakinan KTSP akan mampu mengatasi mandulnya kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru. Sekolahlah sebagai penentu pendidikan, bukan pemerintah pusat. Kini sekolah dan komite sekolah harus bermitra mengembangkan kurikulum sendiri.
Guru, dalam kurikulum baru itu, benar-benar digerakkan agar menjadi manusia profesional. Ia dipaksa untuk meninggalkan cara-cara konservatif dan menggantinya dengan cara kerja yang kreatif. Selama ini para guru lebih banyak menampakkan wajahnya sebagai perpanjangan wajah birokrasi. Ia terlampau patuh pada apa yang disebut petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan.
Sementara itu, yang pesimistis mengolok-olok KTSP sebagai (K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai karena lahir terlalu prematur. Sumber kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada guru sendiri. Seberapa banyak guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman yang disyaratkan KTSP? Bukankah pendidikan keguruan di negeri ini memang tidak membekali guru sebagai penyusun kurikulum?
Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan menjadi kendala yang serius. Kita khawatir kurikulum baru itu pun akan sama nasibnya dengan kurikulum-kurikulum lainnya. (Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004).
Ironisnya lagi, meski KTSP benar-benar memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengembangkan pendidikan, ujung dari seluruh proses itu juga harus lewat ujian negara. Ujian negara akan membuat guru sibuk bagaimana agar seluruh siswa lulus, dan pada akhirnya lupa mengembangkan kreativitas sekolah.
Kita khawatir niat suci pemerintah untuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada sekolah dan guru, justru menjadi belenggu. Sebab, pemerintah sendiri belum menyiapkan guru-guru untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum berbasis sekolah tersebut. Kita khawatir KTSP tidak menjadi jawaban yang tepat atas dunia pendidikan kita yang masih terhuyung-huyung untuk menghadapi persaingan global yang keras.



Wuara merdeka cybernews
26 April 2010 | 23:30 wib | Daerah
1.455 Siswa Tak Lulus UN
30 Persen Siswa MAN 2 Tak Lulus
Semarang, CyberNews. Sebanyak 1.455 siswa SMA/MA/SMK, dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional (UN) utama oleh Dinas Pendidikan Semarang. Nilai mereka ada di bawah standar rata-rata yang ditetapkan yakni 5,5. Demikian disampaikan ketua panitia UN Semarang Bunyamin, Senin (26/4).
Disebutkan, untuk SMA/MA total ada 900 siswa yang berasal dari program IPA 395 anak, IPS 439 anak, Bahasa 55 anak, dan Keagamaan (khusus MA) 11 anak. Sementara untuk SMK, 555 siswa juga dinyatakan tidak lulus. "Persentase banyaknya siswa yang tidak lulus UN tidak bisa dibandingkan dengan tahun lalu. Sebab, tahun ini sistemnya berbeda, ada UN ulangan," kata dia.
Meski tak lulus UN utama, lanjut Bunyamin, bukan berarti siswa tersebut tak lulus sekolah. Sebab, mereka masih diberi kesempatan untuk mengulangi lagi pada UN ulangan yang diselenggarakan 10 Mei mendatang. "Ini baru tahap pertama pengumuman hasil UN, belum hasil final. Berbeda dengan tahun lalu yang sekali dinyatakan tidak lulus UN berarti tidak lulus sekolah. Mereka masih diberi kesempatan untuk mengulang mata pelajaran yang gagal pada UN ulangan," jelasnya.
Karena itu Bunyamin mengimbau agar para orang tua dan siswa yang dinyatakan tidak lulus UN tidak perlu panik lebih dulu. Sebab, masih ada satu kesempatan lagi untuk mengulang. "Mereka bisa mempersiapkan diri sejak sekarang untuk menghadapi mata pelajaran yang tidak lulus," imbuhnya.
30 Persen Tak Lulus
Di SMAN 3 Semarang, seorang siswa dari program IPS dinyatakan tidak lulus UN untuk mata pelajaran Ekonomi. Menurut Kepala SMAN 3, Hari Waluyo, hal itu disebabkan karena siswa mengalami kecelakaan saat ujian. Meski begitu, SMAN 3 tetap menduduki peringkat pertama se-Kota Semarang baik dari program IPA dan IPS. Dari 525 siswa yang ikut UN, yang lulus hampir mencapai 100%.
Sementara di MAN 2 Semarang di Jl Bangetayu, dari 214 siswa yang mengikuti UN, sebanyak 64 siswa atau 30 persen diantaranya tidak lulus UN. Mereka yang tidak lulus terdiri atas 39 siswa dari program IPA, dan 25 siswa dari program IPS. Pengumuman kelulusan, langsung diberitahukan kepada orang tua siswa lewat kurir.
Menurut Wakamad Humas MAN 2 Sukat A Muiz MPd I, banyaknya siswa yang tidak lulus diperkirakan karena kondisi fisik dan mental siswa kurang siap. Disamping itu dengan adanya kebijakan adanya UN ulangan juga membuat semangat siswa jadi menurun.
"Kami sudah melaksanakan proses pendidikan dan prosedur kegiatan belajar mengajar dengan baik. Kalaupun ada siswa yang tidak lulus, barangkali karena ada hal-hal lain di luar itu," katanya.
Bagi siswa yang tidak lulus pihak sekolah akan memberikan pembelajaran sesuai dengan prosedur, serta dukungan agar mereka bisa lebih siap dan bisa lulus dalam UN ulangan yang akan digelar 10-14 Mei di masing-masing rayon. "Tidak lulus ujian bukan berarti kiamat. Namanya ujian pasti ada yang berhasil dan tidak. Karena itu kami ingin memotivasi siswa supaya berhasil pada ujian ulang mendatang," kata Sukat.
( Fani Ayudea /CN13 )

suaramerdeka cybernews
26 April 2010 | 11:58 wib
Olimpiade Komputer Unisbank 2010
Unisbank Semarang baru-baru ini mengadakan lomba Olimpiade Komputer Unisbank 2010. Jenis yang diperlombaan adalah pemrograman pascal dan desain grafis. Kegiatan ini diikuti oleh 139 peserta dari 34 SMA/SMK se-Jawa Tengah, dan juga terdapat peserta tamu yang masih duduk dibangku SMP.
Peserta cukup beragam, mulai dari yang pernah mendapatkan juara di kompetisi nasional maupun pemula. Siswa SMP yang ikut dalam
kompetisi ini pernah memperoleh juara International Mathematics and Science Olympiad (IMSO) 2007 for primary school.
Tim juri untuk desain grafis dari Tim Art Suara Merdeka, sedangkan pemrograman pascal dari TOKI Biro UGM Yogyakarta. Dari TOKI Biro UGM salah satunya adalah Riza Oktavian, peraih medali perunggu pada IOI Croatia 2007.
Selain mendapat Piala Bergilir dari Gubernur Jateng dan Piala tetap, para pemenang mendapatkan hadiah 2 buah netbook untuk masing-masing kategori, uang pembinaan, dan 1 ticket touring ke Singapore dipersembahkan khusus untuk juara pemrograman pascal.

Hasil lengkap:
A. Pemrograman Pascal:
1. ABDUL ROSYID B.H. SMAN 3 SEMARANG 2. AKBAR JUANG SAPUTRA SMAN SBBS SRAGEN 3. RASMUNANDAR RUSTAM SMAN SBBS SRAGEN 4. ALFAN NUR FAUZAN SMAN SBBS SRAGEN 5. ADY DWI NUGROHO SMAN SBBS SRAGEN 6. BASITH ZAINURROHMAN SMAN 2 PURWOKERTO 7. MUHAMMAD ARVA AMRIZAL SMA ASSALAM SUKOHARJO 8. ZULFIKRI KHAIR SMA SEMESTA SEMARANG
B. Desain Grafis:
1. Eko Septian Nugroho SMK Grafika Bhakti Nusantara Smg 2. Moga Adiangga SMAN 2 Purwokerto 3. F. Mario SMK Grafika Bhakti Nusantara Smg 4. Wellyam Kristian Wibowo SMK Nusaputera 1 Semarang 5. Ady Nugroho SMK Umar Fatah Rembang 6. Achmad Tri Bustomi SMAN Karang Pandan Karanganyar 7. M. Adi SN SMAN SBBS Sragen 8. Sharon Angelia SMA Krista Mitra Semarang. (CN23)

Jawa pos
[ Senin, 26 April 2010 ]
Nilai Unas Siswa SMA/MA/SMK di Surabaya Jeblok
SURABAYA - Mulai hari ini, SMA/MA/SMK di Jatim mengumumkan hasil ujian nasional (unas). Mekanisme pengumuman hasil unas sepenuhnya diserahkan kepada tiap sekolah. Ironisnya, Surabaya yang menjadi barometer pendidikan di Jatim belum mampu menunjukkan prestasi yang membanggakan dari jumlah kelulusan siswa maupun peraih nilai unas tertinggi. Sepuluh besar nilai unas tertinggi untuk jurusan bahasa, IPA, dan IPS diraih sekolah-sekolah dari luar Kota Surabaya.

Lebih ironis lagi, tingkat kelulusan sekolah kejuruan (SMK) terjun bebas hingga lima persen. Jumlah siswa yang lulus memang naik satu persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, kenaikan hanya satu persen tersebut tidak memenuhi target Dinas Pendidikan Surabaya.

Tahun lalu, tingkat kelulusan siswa SMA dan MA mencapai 96 persen, sedangkan tahun ini 97,4 persen. Padahal, targetnya adalah 98 persen. Tahun lalu, tingkat ketidaklulusan siswa SMK mencapai 96,5 persen. Tahun ini jeblok menuju angka 91,18 persen.

Berdasar data yang dirilis Dispendik Surabaya, siswa jurusan IPA berjumlah 10.034 orang. Sebanyak 69 anak tidak lulus. Di antara 8.512 peserta ujian jurusan IPS, 151 anak tidak lulus. Sebanyak sepuluh siswa jurusan bahasa di antara 193 peserta ujian tidak lulus (lihat grafis). Total siswa SMK yang tidak lulus ujian, 1.297 di antara 14.704 siswa.

Kendati demikian, Kepala Dispendik Surabaya Sahudi mengklaim, secara keseluruhan, ada kenaikan untuk tingkat kelulusan SMA. Terutama, dalam hal kualitas. Dia menyebutkan, ada dua indikator keberhasilan itu. Pertama, persentase kelulusannya naik jika dibandingkan dengan tahun lalu. "Termasuk, nilai rata-rata," ujarnya.

Kedua, berdasar peringkat di Jawa Timur, jurusan IPS di Surabaya masuk sepuluh besar. Surabaya menempati ranking tujuh. "Meski Surabaya belum bisa menembus lima besar, tahun ini lebih baik daripada tahun lalu," jelasnya.

Sahudi mengakui bahwa persentase kelulusan sekolah kejuruan menurun. "Tapi, saya tidak tahu apa penyebabnya. Kami masih menganalisis apa yang mengakibatkan turunnya nilai siswa SMK," terang mantan kepala SMAN 15 tersebut. Kendati demikian, dia berjanji akan melakukan berbagai upaya perbaikan.

Namun, keberhasilan yang diklaim Sahudi itu tentu masih jauh dari harapan dan reputasi Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur. Betapa tidak, meski mampu menempati posisi tujuh untuk jurusan IPS, tidak satu pun SMA Surabaya yang mampu menembus sepuluh besar. Demikian juga untuk IPA dan bahasa.

Selain itu, tidak ada satu pun siswa SMA/MA Surabaya yang mampu menembus sepuluh besar dalam meraih nilai ujian tertinggi. Siswa-siswa SMA/MA Surabaya tertinggal jauh dari siswa Sidoarjo yang selalu berada di daftar sepuluh besar.

Wali Kota Bambang D.H. mengaku belum puas terhadap hasil unas. Apalagi, prestasi Surabaya juga disalip kota-kota kecil lain di Jawa Timur. Memang, kata dia, persentase tingkat kelulusan SMA naik. "Meski tidak signifikan, kami apresiasi upaya siswa," ujarnya.

Bambang menyayangkan penurunan tingkat kelulusan siswa SMK. "Tapi, nggak apa. Masih ada waktu untuk ujian ulangan. Saya minta, waktu yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin oleh guru maupun siswa agar mempersiapkan diri dengan baik," jelasnya.

Dia menuturkan, selama ini, pemkot telah berupaya untuk menaikkan kualitas sekolah kejuruan. Salah satu caranya, menggelontor anggaran besar. SPP siswa SMK juga sudah digratiskan. "Itu ternyata tidak cukup. Saya minta, dispendik melakukan berbagai upaya untuk lebih meningkatkan kualitas SMK nanti," katanya.

Bambang mengaku belum menerima laporan tentang anjloknya prestasi sekolah kejuruan dalam unas kali ini. "Saya tidak bisa memberi vonis begitu saja. Kami evaluasi dulu," ujarnya.

Karena itu, dia meminta agar dispendik memberi perhatian lebih terhadap SMK. Bukan hanya perhatian dari sisi kuantitasnya. Dari sisi jumlah, peningkatan siswa SMK memang meningkat tajam. Rasio siswa SMA:SMK mencapai 50:50 persen. "Dulu, baru 70:30," ungkapnya.

Menurut Bambang, kualitas memang belum maksimal. "Namun, mudah-mudahan, peningkatan kualitas akan diperbaiki tahap demi tahap," ujarnya. Yang perlu digarisbawahi, kata dia, unas bukan menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan. "Itu hanya salah satu indikator keberhasilan," imbuhnya.

Pakar pendidikan dari Unesa, Martadi MSN, menyatakan bahwa unas SMK jeblok karena beban yang harus ditanggung siswa SMK jauh lebih berat daripada SMA. Siswa SMK juga konsen terhadap ujian praktikum yang notabene lebih berat. Sebab, mereka diuji industri maupun asosiasi industri.

Selain itu, menurut Martadi, teks pelajaran yang diberikan kepada siswa SMK lebih umum daripada SMA. Misalnya, pelajaran bahasa Inggris dan matematika. "Siswa SMK lebih ditekankan pada praktikum-praktikum," jelasnya.

Di satu sisi, siswa SMA betul-betul dipersiapkan untuk fokus menghadapi unas. Sebab, hasil unas dipakai untuk masuk perguruan tinggi. "Berbeda dengan siswa SMK yang lebih mengutamakan bekerja. Kebanyakan fokus terhadap ujian praktikum," ungkapnya.

Soal prestasi, jika dibandingkan dengan kota lain, Surabaya seharusnya lebih baik. Sebab, dari sisi anggaran maupun fasilitas pendidikan, Surabaya dinilai lebih baik daripada kota lain. "Logikanya kan harus lebih baik. Ini yang perlu dievaluasi. Apa yang salah dengan proses pembelajaran terhadap para siswa," katanya. (kit/fim/c12/mik)



koran tempo
Edisi 26 April 2010
Bali Peringkat Tertinggi Kelulusan SMA Se-Indonesia
Di sejumlah daerah, hasil ujian diantar ke rumah siswa.
BALI - Provinsi Bali menempati peringkat pertama dalam hal kelulusan siswa sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan tingkat nasional. Tahun ini, menurut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Bali I Wayan Suastha, angka kelulusan untuk jenjang SMA mencapai 97,25 persen, sedangkan untuk jenjang SMK mencapai 97,47 persen. Pengumuman kelulusan siswa secara serentak akan dilakukan hari ini.
"Untuk ukuran nasional, masih terhitung sangat bagus," kata dia kepada Tempo kemarin. Namun, Suastha melanjutkan, "Saya belum mengetahui ranking Bali dari sisi kelulusan siswa SMA/SMK tahun ini."
Ihwal peringkat Bali sebagai peringkat tertinggi kelulusan siswa SMA dan SMK secara nasional diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat M. Wahyudin Zarkasyi secara terpisah. Tahun ini angka kelulusan SMA di Jawa Barat mencapai 97,14 persen, sedangkan jenjang SMK sebanyak 94,04 persen.
"Di tingkat nasional, Jawa Barat berada di posisi kedua, setelah Bali," kata dia di Bandung kemarin.
Meski disebut-sebut menduduki peringkat tertinggi, menurut Suastha, sejatinya angka kelulusan tahun ini turun dibanding tahun lalu. Sebab, pada 2009, angka kelulusan SMA di Bali mencapai 99,92 persen, sedangkan SMK mencapai 99,59 persen.
Menurut dia, penurunan persentase itu terjadi karena penerapan sistem baru, yang mengedepankan prestasi dan kejujuran serta peningkatan kualitas soal-soal yang diujikan dalam ujian nasional. "Siswa juga lebih memprioritaskan pelajaran tertentu dan cenderung mengorbankan pelajaran yang dianggap lebih ringan," kata Suastha.
Berkaitan dengan pengumuman hasil ujian hari ini, ada beberapa model yang diambil oleh pengelola sekolah. Di Bali, menurut Suastha, pengumuman akan dibacakan di sekolah. Sementara itu, sejumlah pengelola sekolah di Jawa Barat dan Jawa Timur mengambil kebijakan berbeda, yakni tak mengumumkan kelulusan di sekolah. Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji menyatakan setiap sekolah akan menyampaikan hasil ujian nasional, sekaligus kelulusan siswanya, lewat kiriman pos. "Mulai Ahad sore akan dikirimkan ke rumah siswa," kata dia kemarin.
Model pengantaran hasil ke rumah juga ditempuh Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Bedanya, mereka tidak mengirim lewat pos, tapi menyiapkan jasa kurir, yang akan mendatangi alamat para siswa. Talkin, Kepala Dinas Pendidikan Mojokerto, menyatakan jumlah tenaga kurir disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sekolah.
"Nanti siswa tinggal menunggu saja di rumah. Surat hasil ujian akan dikirim ke rumah masing-masing," kata dia kemarin. Pilihan jasa kurir diambil, menurut Talkin, di antaranya untuk mengantisipasi tindakan anarkistis siswa dalam merayakan kelulusan mereka. Untuk itulah, para siswa dilarang datang ke sekolah. Model pemberitahuan kelulusan lewat surat yang diantar ke rumah masing-masing siswa juga dipilih Sumardi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Madiun, Jawa Timur, untuk sekolah-sekolah yang berada di wilayahnya. ROFIQI HASAN | ANWAR SISWADI | MUHAMMAD TAUFIK | ISHOMUDDIN | DWI WIYANA

Tidak ada komentar: