Sabtu, 11 Februari 2012

kasus ambalat

Koran tempo : Senin, 14 Maret 2005
Ambalat, Konflik Energi Indonesia-Malaysia

Lina Alexandra
• Peneliti Departemen Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies, Jakarta

Tulisan Makmur Keliat tentang konflik antara Malaysia dan Indonesia atas Blok Ambalat, antara lain, menyinggung fenomena konflik energi antara kedua negara tersebut (Kompas, 9/3). Adanya pandangan tentang terjadinya konflik energi ini menjadi menarik di tengah maraknya ulasan seputar konflik perbatasan dan berkobarnya semangat nasionalisme, terutama di beberapa kota di Indonesia, untuk kembali melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Tulisan ini berusaha mengkaji sedikit lebih dalam konflik energi dan apa yang perlu dilakukan oleh komunitas internasional untuk membantu penyelesaian konflik tersebut.

Kesimpulan untuk menyatakan bahwa pada dasarnya konflik perbatasan Indonesia-Malaysia ini adalah konflik energi dapat dilihat dari kronologi permasalahannya. Masalah sengketa mengenai Blok Ambalat ini dimulai ketika pada 16 Februari 2005 perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsesi bagi hasil kepada perusahaan minyak Belanda Shell untuk mengeksplorasi minyak di Laut Sulawesi, yang disebut oleh pihak-pihak itu sebagai blok Y dan Z. Sedangkan Indonesia, yang melihat wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan teritorialnya, menyebutnya sebagai Blok Ambalat dan Ambalat Timur.

Klaim Indonesia atas wilayah tersebut ditunjukkan dengan adanya kebijakan pemerintah Indonesia sejak 1966 untuk memberikan konsesi minyak kepada berbagai perusahaan minyak di kawasan timur Kalimantan itu tanpa pernah diprotes oleh pihak Malaysia. Tapi, pada 1979, pemerintah Malaysia mengumumkan peta wilayah berdasarkan interpretasi sepihak yang memasukkan wilayah timur Kalimantan tersebut ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Ketika itu, peta buatan Malaysia ini diprotes oleh beberapa negara, seperti RRC, Filipina, Thailand, Inggris (mengatasnamakan Brunei Darussalam), dan Indonesia, tapi tidak mendapatkan tanggapan dari pihak Malaysia hingga saat ini.

Indonesia, yang merasa batas-batas wilayahnya tidak berubah, menegaskan klaim teritorialnya dengan memberikan konsesi selama 30 tahun kepada dua perusahaan minyak Italia, ENI Ambalat Ltd. dan ENI Bukat Ltd., untuk mengeksplorasi minyak di wilayah tersebut dan juga kepada perusahaan AS Unocal untuk melakukan pengeboran sejak 24 Februari 1998.

Sementara konflik pada masa Perang Dingin didasari alasan-alasan ideologis, pada era pasca-Perang Dingin alasan-alasan mendasar yang dibungkus dengan alasan ideologis kemudian muncul ke permukaan. Salah satu jenis konflik yang sebenarnya paling primitif dalam peradaban manusia adalah konflik yang muncul karena adanya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya yang vital dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup, yang dikenal dengan terminologi "konflik energi" (Michael T. Klare, Foreign Affairs, 80/3, Mei/Juni 2001). Menurut Klare, setidaknya ada tiga jenis konflik energi yang telah berlangsung, yaitu kompetisi untuk memperoleh akses atas sumber daya utama seperti minyak dan gas bumi, friksi atas alokasi air, dan perang internal untuk memperebutkan komoditas yang bernilai tinggi seperti berlian, emas, dan tembaga.

Menurut Klare, konsumsi energi global akan mengalami peningkatan kira-kira 2 persen per tahun. Secara spesifik, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Energi AS, konsumsi minyak global akan meningkat dari 77 juta barel per hari pada 1999 menjadi 110 juta barel per hari pada 2020. Negara-negara industri baru (newly emerging countries) seperti Brasil dan Malaysia kemungkinan besar akan mencapai tingkat konsumsi dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari konsumsi energi sebelumnya. Sementara itu, jumlah sumber daya yang ada secara relatif jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi dunia secara besar-besaran tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan sumber-sumber alternatif bagi keterbatasan sumber daya alami tersebut. Selain itu, upaya untuk menekan penggunaan sumber daya dilakukan dengan menaikkan tingkat harga.

Namun, di sisi lain, kemajuan di bidang teknologi yang menghasilkan penemuan-penemuan baru sering kali justru semakin memperparah tingkat konsumsi sumber daya. Sedangkan penemuan alternatif sumber daya lain belum mencapai tingkat substitusi yang optimal sehingga belum mampu menutupi kebutuhan terhadap sumber daya alami tersebut.

Klare mengusulkan suatu pemetaan wilayah-wilayah sumber daya yang berpotensi untuk menjadi wilayah-wilayah konflik di masa depan. Untuk sumber daya minyak dan gas bumi, Klare memasukkan kawasan Teluk Persia, Laut Kaspia, Laut Cina Selatan, serta negara-negara Afrika seperti Aljazair, Angola, Chad, Nigeria, dan Sudan, ditambah Indonesia, Kolombia, dan Venezuela. Wilayah-wilayah ini mencakup empat perlima dari luas wilayah penghasil minyak dan gas bumi di dunia. Konflik kemudian tidak hanya potensial untuk terjadi di wilayah-wilayah sumber daya tersebut, tapi juga di wilayah-wilayah yang merupakan jalur pipa (pipelines) atau jalur lalu lintas bagi kapal-kapal tanker yang mengangkut minyak dan gas bumi.

Menurut Klare, selain karena keberadaan sumber daya di wilayah-wilayah tersebut, konflik potensial terjadi karena adanya serangkaian faktor lain, di antaranya sejarah konflik di antara negara-negara di kawasan tempat terletaknya sumber daya itu dan faktor stabilitas politik, baik di dalam negara pemilik maupun di kawasan sumber daya tersebut. Dalam kasus Indonesia-Malaysia, kasus yang paling dekat keterkaitannya dengan konflik Ambalat ini adalah sengketa kepulauan Sipadan-Ligitan, yang berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada 2002 diserahkan kepemilikannya kepada Malaysia. Keputusan ini jelas memberikan trauma tersendiri bagi para elite politik di Indonesia. Bahkan kalangan elite dan sebagian kelompok masyarakat juga mengaitkan kasus Ambalat dengan Konfrontasi Malaysia pada 1963, yang sebenarnya merupakan taktik elite politik Orde Lama untuk mengalihkan fokus masyarakat dari kondisi politik dan ekonomi domestik saat itu yang carut-marut akibat kebijakan mercusuar yang dijalankan pemerintah Soekarno.

Dilihat dari stabilitas politik domestik, Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai masalah: terus berlangsungnya konflik dengan gerakan-gerakan separatis, kemudian diperparah dengan bencana tsunami Desember lalu, dan terakhir kenaikan harga BBM yang menimbulkan aksi-aksi demonstrasi terhadap pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru berjalan sekitar enam bulan. Sementara itu, stabilitas di kawasan Asia Tenggara, walaupun tampak stabil, menghadapi berbagai potensi konflik teritorial lainnya yang masih menunggu penyelesaian yang tepat, ditambah dengan adanya "persaingan" tentang implementasi konsep East Asia Community dan ASEAN Plus Three yang melibatkan Malaysia dan Indonesia.


Yang harus dilakukan sekarang adalah, pertama, segera ada negosiasi di antara negara-negara yang bersengketa mengenai batas-batas wilayah baru. Sejak kepulauan Sipadan-Ligitan berada di bawah kedaulatan Malaysia, belum ada kesepakatan baru mengenai batas wilayah laut dari Malaysia dan Indonesia. Begitu juga dengan negara lain yang juga sedang bersengketa.

Berdasarkan data dari Departemen Kelautan dan Perikanan, setidaknya terdapat 92 pulau terluar dari wilayah Indonesia yang berpotensi menimbulkan sengketa perbatasan jika tidak ditangani dengan segera.

Kedua, komunitas internasional atau negara-negara di kawasan regional harus membantu mendorong percepatan negosiasi di antara negara-negara tersebut untuk menghasilkan perjanjian perbatasan yang baru. Pecahnya konflik terbuka tentu akan berdampak pada instabilitas kawasan dan negara-negara lain (yang diwakili oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asing) di luar kawasan yang sewaktu-waktu berkepentingan atas wilayah tersebut.

Akhir yang dapat ditarik adalah perlunya itikad baik dari negara-negara yang bersengketa untuk menempuh jalan diplomasi demi menciptakan kesepakatan bersama yang menguntungkan semua pihak. Perang tentu saja bukan solusi yang tepat karena akan merugikan hubungan kedua belah pihak, yang seharusnya bersatu dalam kerangka komunitas bersama ASEAN.

http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=DVIGAwNRUFMK
Sengketa Sipadan dan Ligitan 2
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU 118.6287556°BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional
Kronologi sengketa : Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1] [2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.