Senin, 26 April 2010

latihan,,,

Koran Japan Times
Selasa, 20 Mei 2008

Kebangkitan Homeschooling
Pendidikan rumah telah meraih popularitas tahun-tahun
belakangan ini di banyak bagian dunia, dengan lebih
banyak keluarga mencari alternatif dari pembelajaran
berbasis sekolah. Namun di Jepang, para pakar
mengatakan bahwa tetap saja sulit bagi anak-anak untuk
dididik di luar sistem sekolah, dengan minimnya
dukungan pemerintah -atau pun pengertian- terhadap
kebutuhan untuk mendiversifikasi pendidikan anak.
Di Amerika Serikat, diperkirakan 1,1 juta pelajar
menjalani homeschooling pada musim semi 2003, yakni
2,2% dari semua pelajar dari TK hingga kelas 12,
menurut laporan Pusat Nasional untuk Statistik
Pendidikan tahun 2006. Angka itu naik 29% sejak 1999,
ketika 850.000 pelajar diperkirakan menjalani
homeschooling.

Setsuko Miyai, profesor ilmu humaniora di Universitas
Toyo Gakuen, menulis dalam buku yang ikut disusunnya
tahun 2007, berjudul "Di Antara Individu dan Negara",
bahwa di AS pendidikan rumah tumbuh dari gerakan
antibudaya akhir 1960-an sampai awal 70-an. Kemudian
pada akhir 70-an, John Holt, seorang pendidik, mulai
mengadvokasi pemisahan pendidikan dari sekolah-sekolah.
Holt meninjau orang tua sebagai fasilitator, bukan
pengajar, dari proses pembelajaran mandiri oleh anak.

Miyai menggarisbawahi alasan-alasan berbeda di antara
mereka yang memilih homeschooling. Beberapa menolak
sifat sistem pendidikan sekolah moderen yang
distandardisasi dan berbasis kendali. Sementara yang
lain tidak percaya pada norma-norma, terutama nilai
moral, yang dipaksakan sekolah umum kepada para siswa.

Belakangan, kelompok ras Afrika-Amerika yang aktif
dalam pendidikan rumah, prihatin akan kegagalan
sekolah-sekolah yang ada menangani kesenjangan rasial
dalam prestasi akademik dan kebutuhan melestarikan
kebudayaan mereka, ujar Miyai. Setelah serangkaian
tuntutan hukum yang diajukan mengenai hak-hak
berhomeschooling, pendidikan rumah menjadi legal di
seluruh AS menjelang 1993.

Di Inggris, di mana pendidikan adalah wajib namun
kehadiran di sekolah tidak, UU Pendidikan mengatur
bahwa setiap anak usia wajib belajar harus memiliki
"pendidikan penuh-waktu sesuai usia, kemampuan, dan
kecakapannya dan semua kebutuhan akan pendidikan
istimewa yang mungkin dimilikinya, baik di sekolah
atau pun di tempat lain." Perkiraan jumlah pelajar
rumah bervariasi antara 7.400 sampai 34.400 orang,
lapor BBC News pada Februari 2007, yang mengutip studi
oleh Departemen Pendidikan dan Keahlian.

Jaringan pendukung bagi pendidik rumah telah tumbuh,
dengan kelompok penolong mandiri, Education Otherwise,
yang didirikan oleh beberapa orang tua tahun 1977,
telah berkembang menjadi organisasi beranggota 4.000
orang tahun 2005.

Di dunia, pendekatan pada pendidikan rumah bervariasi
dari tiap negara, tergantung pada apakah negara
tersebut memandang sekolah sebagai wajib atau tidak,
kata Yoshiyuki Nagata, profesor pembantu bidang
pendidikan di University of Sacred Heart, yang
melakukan riset pada bentuk alternatif pendidikan,
termasuk pendidikan rumah. Namun, dengan peluncuran
PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) dari
OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi)
pada tahun 2000, lebih banyak negara, terutama Eropa,
semakin banyak merujuk pada sekolah guna meningkatkan
literasi di antara warga negaranya, kata Nagata.

"Banyak negara, termasuk Jepang, yang menderita apa
yang disebut 'kejutan PISA'. Mereka kalang kabut
mencari cara mengatasi hasil buruk negaranya," kata
Nagata. "Dalam artian itu, lebih banyak perhatian
diberikan pada pendidikan berbasis sekolah. Namun pada
saat yang sama, definisi tentang kemampuan akademik
juga semakin beragam. Pendidikan alternatif bisa jadi
lebih baik dalam menolong anak-anak memperoleh
keterampilan menyelesaikan masalah, wawasan, dan
kebijaksanaan."

Memang demikian, seperti yang didemonstrasikan para
remaja Inggris yang dididik di rumah, saat turut serta
dalam kompetisi robotik di Tokyo, anak-anak yang
dididik di rumah sering kali merupakan para pelajar
yang maju di bidang-bidang tertentu, karena mereka
tidak dipaksa untuk belajar mata pelajaran pokok.

Menurut laporan tahun 2002 oleh Paula Rothermel dari
Universitas Durham, Inggris, yang menilai perkembangan
psikososial dan akademik peserta homeschooling usia 11
dan lebih muda, anak-anak yang dididik di rumah itu
ditemukan lebih matang secara sosial dan berprestasi
akademik lebih baik daripada anak-anak yang dididik di
sekolah.

Heidi De Wet, salah satu dari tiga mentor yang
menyertai anak-anak Inggris tersebut ke Tokyo, menolak
persepsi umum bahwa anak-anak homeschooler kekurangan
kecakapan sosial, dengan mengatakan bahwa anak-anak
yang dididik di rumah bergaul dengan baik dengan orang
-orang dari kelompok usia yang berbeda-beda.

"Seorang anak yang dididik di rumah akan melihat
ruangan yang penuh orang dan memutuskan,'Aku mau bicara
pada nenek di sana itu atau anak kecil di sana atau
anak seusiaku atau remaja itu atau siapa pun,'" kata De
Wet. "Usia tidak membuat perbedaan bagi mereka,
sementara seorang anak sekolah akan bilang,'Ooh, aku 10
tahun, di sini nggak ada orang lain yang 10 tahun, jadi
nggak ada siapa-siapa yang bisa aku ajak ngobrol.'"

Di Jepang, di mana kehadiran di sekolah adalah wajib,
pendidikan rumah bukan pilihan yang populer, meskipun
masalah bolos yang mempengaruhi lebih dari 120.000
siswa SD sampai SMA, dan penggertakan (bullying)
merupakan masalah berkepanjangan. Banyak orang tua yang
bahkan tidak tahu bahwa gagasan mendidik anak di luar
sekolah itu ada, kata Kyoko Aizawa, pendiri Otherwise
Japan, sebuah kelompok pendukung pendidikan rumah,
dengan memberikan catatan bahwa banyak anak-anak dan
keluarga yang melaksanakan pendidikan rumah
melakukannya dengan rahasia, dan kerap kali menerima
diskriminasi dari masyarakat tempat tinggal mereka.

Tetapi dengan begitu banyak masalah di sekolah-sekolah
Jepang, baik sekolah maupun orang tua selayaknya
berpikir lebih keras tentang cara-cara saling menolong
sehingga semua anak dapat memiliki akses pada
pendidikan, kendati di mana pun tempat mereka belajar
atau apakah mereka mengikuti kurikulum pemerintah atau
pun tidak, kata Aizawa.

"Pendidikan rumah bukan tentang menghapuskan atau pun
menjelek-jelekkan sekolah, juga bukan mengunci anak-
anak di dalam rumah dan membuat mereka mengerjakan
soal-soal dari pendidikan jarak jauh," kata Aizawa.
"Pendidikan rumah adalah tentang mengakar pada masyarakat, dan
memberikan bantuan bersifat mendidik kepada anak-anak
pada setiap kesempatan sedapat mungkin."

(Oleh Tomoko Otake)###

Lagi, Nissan Bantu Pendidikan
Sabtu, 10 April 2010 | 02:28 WIB
Besar Kecil Normal

Manajemen PT Nissan Motor Indonesia (NMI) berfoto bersama guru dan murid TK/TPA Nurul Ihsan Bekasi, setelah penyerahan bantuan pendidikan Nissan Sahabat Anak Indonesia (NSAI). (Dok. Nissan Motor Indonesia)
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komitmen PT Nissan Motor Indonesia (NMI) dalam memberikan dukungan terhadap dunia pendidikan terus ditunjukkan. Agen Tunggal Pemegang Merek Nissan di Indonesia itu memberikan bantuan kepada Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-quran (TPA) Nurul Ihsan, Bekasi, akhir pekan kemarin.
Bantuan yang diberikan berupa perangkat komputer lengkap, buku-buku untuk keperluan perpustakaan, meja dan kursi untuk kebutuhan belajar di kelas, serta seperangkat permainan.
“Semoga bantuan ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para guru dan seluruh murid dalam menunjang kegiatan belajar dan mengajar," kata Chetryana Gunardi, Deputy Director GA NMI dalam keterangan persnya yang diterima Tempo.
Ia menyebutkan pemberian bantuan ini merupakan bagian dari program Nissan Sahabat Anak Indonesia (NSAI). Program ini suatu kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) Nissan dalam usaha membantu pendidikan di Indonesia.
"Kami sangat peduli pada pendidikan dasar anak-anak. Di Nissan, kami percaya bahwa pendidikan yang baik akan memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan masa depan dan kehidupan yang baik pula,” kata Chetryana menambahkan.
RAJU FEBRIAN



Edisi 01 April 2010

MK Selamatkan Pendidikan
Keberanian Mahkamah Konstitusi meluruskan haluan pendidikan di negeri ini patut dipuji. Majelis Hakim Konstitusi mengoreksi Undang-Undang Pendidikan sekaligus membatalkan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan. Soalnya, lewat kedua undang-undang ini, warga negara dibebani tanggung jawab besar untuk membiayai pendidikan. Padahal, sesuai dengan konstitusi, pendidikan bukanlah beban melainkan justru merupakan hak warga negara.
Prinsip yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu dilihat secara jeli oleh para pemohon uji materi. Mereka berasal dari berbagai elemen pendidikan, seperti mahasiswa, pengajar, pengurus yayasan pendidikan, dan orang tua murid. Dengan pertimbangan yang jernih dan cerdas, akhirnya kemarin MK mengabulkan sebagian besar permohonan itu.
Haluan yang mulai melenceng itu tersirat dalam Pasal 6 ayat 2 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di situ dinyatakan: setiap warga negara bertanggung jawab atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Selaras dengan keinginan pemohon, Majelis Hakim Konstitusi kemudian mengoreksi kata “bertanggung jawab” dalam pasal ini menjadi “ikut bertanggung jawab”.
Kelihatannya sepele, tapi perlu dikoreksi karena UUD 1945 menempatkan urusan pendidikan sebagai tanggung jawab negara. Apalagi, pasal itulah--bersama Pasal 53 mengenai badan hukum pendidikan--pijakan lahirnya UU No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Dalam Pasal 53 dinyatakan bahwa setiap penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentuk badan hukum pendidikan. MK pun mengoreksi pasal ini dengan menyatakan bahwa badan hukum dimaknai hanya sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
Dengan filosofi yang sama pula, MK membatalkan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan. Inilah undang-undang yang mengatur lebih terperinci beban warga negara atas pendidikan. Di situ diatur antara lain: setiap peserta didik menanggung sepertiga dari biaya operasional pendidikan. Jelas, ketentuan ini amat memberatkan orang tua murid. Semangatnya tidak sesuai dengan konstitusi yang menempatkan pendidikan sebagai hak warga negara.
Undang-undang itu memang menyatakan, sekolah atau badan hukum pendidikan wajib menyediakan beasiswa untuk peserta didik dari keluarga yang kurang mampu. Tapi ketentuan seperti ini tetap menabrak konstitusi. Negara, yang seharusnya memberikan hak pendidikan, seolah memindahkan kewajiban ini ke sekolah atau badan hukum pendidikan.
Prinsip penyeragaman yang dianut undang-undang itu juga akan sulit dilaksanakan, karena kenyataannya pendidikan kita dikelola oleh banyak pihak, mulai yayasan hingga semacam perkumpulan. Inilah yang mendorong MK mencabut Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Apalagi, seperti yang dipraktekkan dalam perguruan tinggi negara sekarang, konsep badan hukum justru membuat biaya pendidikan semakin tak terjangkau oleh warga kebanyakan.
Dengan mengoreksi konsep yang salah kaprah itu, MK telah menyelamatkan pendidikan kita. Negara memang tidak sepantasnya lepas tangan soal pendidikan, karena hal itu tak hanya akan membuatnya semakin amburadul, tapi juga akan menciptakan ketidakadilan.




Jumat, 28 Agustus 2009 08:06 WIB Media Indonesia
Terdidik Tapi Menganggur
EDITORIAL Media Indonesia 21 Agustus 2009 (selanjutnya Editorial) menyoroti isu pengangguran terdidik. Peningkatan jumlah pengangguran terdidik yang melonjak dua kali lipat dalam kurun waktu kurang dari lima tahun adalah fenomena yang memprihatinkan dan perlu dicari akar masalah dan solusinya.
Editorial tersebut mengemukakan beberapa argumen mengapa kita harus waspada terhadap peningkatan jumlah pengangguran terdidik di samping mengusulkan solusi. Tulisan ini mencoba melakukan tinjauan kritis atas argumen-argumen itu dan sekaligus mencoba menawarkan solusi alternatif meskipun mungkin ada lebih banyak pertanyaan daripada jawaban dalam tulisan ini.
Pengangguran terdidik mengkhawatirkan karena dapat mengakibatkan bermunculannya masalah sosial. Di antara masalah sosial yang mungkin muncul adalah kemungkinan meningkatnya aktor intelektual yang begerak di wilayah kriminal, dengan kata lain ada kemungkinan modus kriminalitas makin beragam, canggih dan pintar.
Argumen ini sangat menarik meskipun tentu perlu dikritisi karena secara mendasar dapat dipertanyakan apakah memang ada data yang mendukung hubungan langsung antara peningkatan pengangguran terdidik dengan tingkat keragaman dan kecanggihan kejahatan. Kejahatan intelektual juga mungkin lebih banyak dilakukan oleh mereka yang bekerja, bukan penganggur, karena domain kejahatan ini umumnya terkait langsung dengan manipulasi di tempat kerja.
Berikutnya, pengangguran terdidik adalah cerminan dari inefisiensi atau pemborosan uang negara karena alokasi yang demikian besar dari APBN untuk sektor pendidikan menjadi sia-sia karena hanya menghasilkan penganggur. Argumen ini menurut saya erat terkait dengan argumen berikutnya yaitu bahwa pengangguran terdidik dapat menyebabkan menurunnya penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap perguruan tinggi.
Sungguh kedua argumen ini perlu direspons secara serius terutama bukan hanya pemerintah tetapi juga institusi penyelenggara pendidikan tinggi itu sendiri. Kedua argumen ini mempertanyakan akuntabilitas dan relevansi perguruan tinggi di tengah masyarakatnya. Fundamen eksistensial pendidikan tinggi diragukan dan diuji kekukuhannya.
Dalam hal ini layak kiranya direnungkan pertanyaan mengenai dasar pendirian perguruan tinggi dan urgensi pendidikan tinggi bagi pembangunan masyarakat dan bangsa. Sudah terlalu lama birokrat pendidikan dan akademisi mengabaikan dasar filosofis pendidikan tinggi dan perguruan tinggi.
Diskusi nasional yang serius dan komprehensif perlu dilakukan segera sebelum pendidikan tinggi kita benar-benar kehilangan arah dan semata-mata berdiri demi alasan pragmatis dan jangka pendek.
Editorial menyebutkan bahwa perguruan tinggi harus mewujudkan pendidikan yang berbasis pasar kerja. Pernyataan ini bisa menjadi tema utama diskusi tersebut karena mengundang banyak pertanyaan filosofis apakah memang benar kehadiran perguruan tinggi adalah untuk menyuplai tenaga kerja bagi pasar kerja ataukah untuk menghasilkan manusia merdeka yang cerdas dan terdidik (intelektual)?
Mengapa menganggur?
Harapan dan motivasi masyarakat bahwa pendidikan tinggi dapat meningkatkan status finansial dan atau status sosial dilandasi oleh asumsi bahwa sistem meritokratik berjalan. Namun dalam kenyataannya, meskipun telah mengeluarkan biaya yang begitu besar, insentif terhadap lulusan perguruan tinggi tidak memadai, apalagi jika lulusan tersebut kemudian menganggur. Mengapa seorang sarjana menganggur adalah pertanyaan yang tampak sederhana tapi sesungguhnya rumit.
Editorial menunjuk pemerintah yang tidak sanggup menciptakan lapangan kerja bagi sarjana baru. Tapi apakah memang ini tugas pemerintah semata-mata? Jika pun benar, dengan cara apa pemerintah dapat menyediakan lapangan kerja? Menyediakan lapangan kerja secara masif di pemerintahan dan perusahaan milik pemerintah bukan solusi karena dapat meningkatkan inefisiensi.
Menyediakan lapangan kerja sementara sebagai sukarelawan mungkin bisa diupayakan tetapi apakah ini solusi permanen atau sekedar upaya tambal sulam dalam jangka panjang? Juga, bukankah tersedianya lapangan kerja di era ekonomi pasar global ini lebih banyak ditentukan oleh dinamika dunia kerja swasta yang sangat erat terkait dengan fluktuasi ekonomi supermakro?
Perguruan tinggi dituntut untuk menghasilkan lulusan dengan keterampilan wirausaha. Pemerintah pun melalui Ditjen Dikti telah menyediakan berbagai fasilitas dan dukungan untuk program kewirausahaan bagi mahasiswa. Tetapi apakah memang semua sarjana mau (di)jadi(kan) wirausahawan? Bukankah menjadi wirausahawan juga sangat ditentukan oleh minat dan pilihan (dan mungkin juga talenta) dan untuk sukses sangat tergantung pada faktor eksternal seperti dukungan finansial dan (lagi-lagi) pertumbuhan ekonomi?
Sarjana dituntut untuk siap kerja. Tapi diskusi mengenai ini rasanya sudah usang karena saya ingat argumen Prof Andi Hakim Nasoetion (legenda IPB) belasan tahun lalu bahwa perguruan tinggi tidaklah bertugas menghasilkan sarjana yang siap kerja melainkan menghasilkan manusia-manusia kritis dan cerdas (dengan kata lain intelektual). Instansi dan perusahaan lah yang harus melatih sarjana agar secara spesifik siap bekerja sesuai dengan tugas kerjanya.
Namun memang benar bahwa banyak perguruan tinggi yang terjebak untuk semata-mata menyesuaikan kurikulumnya dengan permintaan dan persyaratan dunia kerja. Tetapi dengan cara yang keliru pula. Mengapa keliru? Karena sistem pemantauan kondisi kerja belum berjalan baik di Indonesia, perguruan tinggi sibuk menyiapkan lulusannya dan membekalinya dengan berbagai pengetahuan teoretis dan keterampilan spesifik disiplin ilmu. Tidak disadari bahwa di era masyarakat berbasis pengetahuan-sains-teknologi-informasi-virtual ini pengetahuan teknis cenderung cepat menjadi usang. Apa yang dipelajari di bangku kuliah sudah berubah saat mahasiswa tersebut lulus.
Demikian juga ada perubahan mendasar di dunia kerja global yang seperti ditengarai Teichler (2008) bahwa persyaratan kerja kini menjadi semakin generik dan bukannya spesifik. Hasil Tracer Study Universitas Indonesia 2008 menunjukkan bahwa lulusan mempersepsikan pengetahuan teoretis dan spesifik disiplin ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi sudah melampaui kebutuhannya di dunia kerja. Sedangkan keterampilan lunak (softskills) masih kurang dibekali sehingga ada jurang antara softskills yang diperoleh (acquired) dan yang diperlukan (required) di dunia kerja.
Berdasarkan evidens ini maka perubahan kurikulum lebih baik diarahkan untuk dapat mengisi kekurangan softskills seperti keterampilan organisasional, kemampuan adaptif, keterampilan belajar sepanjang hayat, keterampilan komunikasi interpersonal, daya kritis dan kreatif, kemampuan menembus batas-batas disiplin ilmu, pemahaman sosio-kultural mondial, serta keterampilan bekerjasama dalam tim. Jika kita perhatikan, semakin banyak iklan lowongan kerja yang mensyaratkan keterampilan lunak dan bahkan tidak mengkhususkan pada disiplin ilmu tertentu.
Schomburg (2009) menyatakan pentingnya menghasilkan sarjana yang mampu mengritisi dan mengubah persyaratan kerja bukan sekedar yang sesuai dengan persyaratan kerja. Diskusi mengenai link and match perlu memperhatikan aspek dinamika persyaratan kerja, pendekatan pembelajaran serta matching (atau tepatnya mismatching) horisontal (terkait disiplin ilmu) dan vertikal (terkait level kesarjanaan).
Terakhir, kita perlu memiliki data dan informasi yang relevan, akurat, dan mutakhir mengenai hubungan antara dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja. Saya sepakat dengan Editorial bahwa pemerintah, sejak dulu, tidak pernah memiliki konsep yang tegas dan terencana tentang keterkaitan antara pendidikan dan lapangan kerja. Pendidikan dilaksanakan sebagai amanat konstitusi semata.
Dalam hal ini dua departemen yaitu Depdiknas dan Depnakertrans perlu duduk bersama untuk melakukan kajian dan analisis terhadap hubungan antara pendidikan tinggi dan dunia kerja. Perguruan tinggi di sisi lain harus mengaplikasikan Tracer Study yang terinstitusionalisasi, sistematik, standar, komparabel dan reguler agar diperoleh masukan yang akurat mengenai situasi transisi lulusannya dari kampus menuju kerja. Tracer Study memiliki potensi manfaat yang sangat besar untuk mengetahui relevansi perguruan tinggi dan mengevaluasi proses, output, dan outcome pembelajaran. Sayangnya sampai saat ini, Tracer Study masih dilaksanakan dan diperlakukan semata-mata sebagai syarat bagi borang akreditasi. ***
Ahmad Syafiq, PhD
Peneliti Tracer Study UI, alumnus University Staff Development Program (UNISTAFF), University of Kassel, Jerman
Report By : Ahmad Syafiq, PhD

Lagi, Soal Pungli di Sekolah
Diterbitkan Juli 18, 2008 Pendidikan Tinggalkan a Komentar
Masa penerimaan siswa baru (PSB) telah berakhir minggu lalu. Setelah siswa mengikuti masa orientasi sekolah (MOS), pekan depan mereka mulai belajar di sekolah yang baru. PSB ternyata tak berhenti sampai di situ karena masih menyisakan persoalan, khususnya menyangkut pungutan liar (pungli).
Selama musim PSB, harian ini terus-menerus menggulirkan berita mengenai pungli di sekolah-sekolah negeri. Keluhan orangtua siswa, yang harus merogoh kocek jutaan rupiah untuk menyekolahkan anak, sungguh memprihatinkan kita. Apalagi hal itu terjadi pada saat kondisi perekonomian masih sulit dan pungutan tidak didasari aturan jelas, sehingga patut disebut pungli.
Hampir setiap tahun media massa mengungkap kasus pungli di sekolah-sekolah negeri yang dilakukan guru dan kepala sekolah (kepsek). Dengan berbagai dalih siswa yang diterima lewat tes atau lolos seleksi nilai ujian nasional diwajibkan menyetor ratusan ribu hingga jutaan rupiah ke sekolah. Bahkan, ada juga yang berani menjual “bangku” sekolah kepada siswa yang sebetulnya tak lolos tes atau nilainya di bawah standar.
Tetapi, hampir tak terdengar kabar ada pelaku yang mendapat sanksi. Hal itu bisa dimaklumi karena otoritas pendidikan dan aparat penegak hukum hampir tak peduli dengan pemberitaan tersebut.
Baru pada tahun ini kita melihat adanya respons positif dari pejabat yang berwenang. Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepsek yang melakukan pungli bisa ditunda kenaikan pangkatnya, bahkan dipecat. Beberapa pejabat Kejaksaan Tinggi di daerah-daerah juga bergairah menanggapi instruksi dari Kejaksaan Agung untuk memantau PSB dan menindaklanjutinya jika ada temuan pungutan di luar ketentuan.
Semua itu menunjukkan perhatian terhadap masalah korupsi di dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah negeri, semakin intens. Tentu saja hal itu akan berdampak positif pada masa depan pendidikan Indonesia, apabila semua guru dan kepsek yang terbukti melakukan pungli diberi sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, efek jera bisa menular di sekolah-sekolah.
Sejauh ini kita melihat sebagian guru dan kepsek telah memanfaatkan PSB sebagai ajang mengeruk keuntungan pribadi. Berbekal Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS), yang telah disetujui Komite Sekolah, mereka memeras orangtua siswa baru. Praktik itu selalu berulang setiap tahun karena kepada pelakunya tidak diberikan sanksi. Mereka tetap leluasa bergerak, bahkan tak jarang di-back up pejabat Dinas Pendidikan tingkat kabupaten/kota. Sebuah kolusi yang sempurna untuk memeras orangtua siswa.
Keberanian aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan dan Kepolisian, untuk menindaklanjuti kasus pungli di sekolah, tetap kita tunggu. Jangan sampai aparat penegak hukum justru “mengolah” kasus tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kita berharap pungli di sekolah secepatnya diberantas. Respons Mendiknas dan aparat Kejaksaan, hendaknya diikuti pejabat lain, seperti Kepolisian dan Badan Pengawas Daerah (Bawasda). Para pelaku pungli harus dijebloskan ke penjara, sehingga menimbulkan efek jera.
________________________________________
Suara Pembaruan: 18/7/08
Privatisasi Pendidikan
Diterbitkan September 1, 2007 Pendidikan 1 Comment

Satu bukti yang harus kita akui, selama ini pemerintah sangat sulit meningkatkan kualitas pendidikan.
PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) di DPR berjalan sangat alot. RUU tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Awalnya, rancangan yang mulai dibahas tahun 2004 ini ditargetkan selesai tahun 2006. Namun, target itu tak tercapai. Pemerintah kemudian mengharapkan tahun ini pekerjaan dewan tersebut bisa diselesaikan.
Dewan memang harus sangat hati-hati. Sejumlah pakar di bidang pendidikan dengan sangat konsisten mengemukakan berbagai alasan agar RUU tersebut ditolak. RUU BHP ini memang tidak berdiri sendiri. Selain UU tentang Sistem Pendidikan Nasional, RUU BHP juga merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 26 dan Nomor 27 Tahun 2007 sebagai aturan pelaksanaan dari UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam PP tersebut dicantumkan bidang-bidang usaha yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal. Di antara beberapa bidang usaha yang terbuka itu adalah bidang pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan nonformal. Batas kepemilikan modal maksimum 49%.
Ketentuan inilah yang kemudian banyak dipersoalkan, sampai akhirnya beberapa pakar pendidikan mengusulkan penolakan RUU BHP dijadikan undang-undang. Alasan utamanya, Indonesia belum mampu bersaing dengan bangsa lain yang pendidikannya sudah jauh lebih maju. Di samping itu dikemukakan pula prinsip yang lebih mendasar, pendidikan itu prinsipnya nirlaba sedangkan investasi bertujuan mendapatkan laba.
Tanpa harus berpikir lama, kita melihat alasan penolakan terhadap RUU BHP sangat masuk akal. Sebab memang demikianlah keadaannya di lapangan. Satu bukti yang harus kita akui, selama ini pemerintah sangat sulit meningkatkan kualitas pendidikan. Bukan hanya sebatas alokasi anggaran yang selalu menjadi bahan perdebatan panas, tetapi juga ada faktor-faktor lain yang tidak kurang pentingnya. Antara lain, kondisi masyarakat indonesia sendiri.
Di Jawa Barat, kondisi pendidikannya sudah kita rasakan bersama. Upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan IPM misalnya, belum juga berhasil. Padahal, gubernur sendiri telah mendukungnya dengan program Bagus (Bantuan Gubernur Khusus) meskipun baru sebatas bantuan terhadap siswa SD yang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP/MTs.
Fakta di lapangan yang masih memprihatinkan itu tentu akan tambah parah jika investasi modal di bidang pendidikan diberlakukan saat ini juga. Semua memahami, pada dasarnya privatisasi pendidikan itu tidak jelek-jelek amat. Akan tetapi, kita bisa menimba pelajaran dari privatisasi pendidikan tinggi yang sudah berjalan beberapa tahun. Meskipun evaluasinya belum bisa dilakukan secara menyeluruh, keluhan sudah mulai terdengar. Artinya, masih ada yang harus lebih dibereskan.
Akan cukup bijaksana, mungkin, jika masyarakat diberi kesempatan lebih banyak dan lebih lama agar plus-minus privatisasi pendidikan dipertimbangkan dengan sangat matang. Kalau perlu, tidaklah usah dipaksakan supaya bisa disahkan tahun ini seperti yang diharapkan pemerintah. Atau mungkin diberlakukan berjenjang. Sementara ini, cukuplah kita semua merasakan apakah privatisasi pendidikan tinggi memang lebih bermanfaat daripada sebelumnya? Dalam arti manfaat tersebut memang dinikmati oleh rakyat indonesia secara menyeluruh, bukan hanya oleh kelas atas semata.***
Pikiran Rakyat, Sabtu, 01 September 2007
Kekerasan di Dunia Pendidikan
Diterbitkan Mei 14, 2007 Kekerasan , Pendidikan 3 Komentar - komentar

Apa yang bisa kita pahami mengenai kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan kita? Di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), dua kelompok saling baku bentrok untuk memperebutkan status yayasan yang mengelola perguruan tinggi tersebut. Akibat kekerasan itu sejumlah orang luka-luka, beberapa fasilitas kampus rusak, dan sekitar 15 ribu mahasiswa terpaksa tak bisa mengikuti kegiatan kuliah.
Sebelumnya, aksi kekerasan juga terjadi di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Di sini, sejumlah praja (mahasiswa) senior menendang, memukul, dan menganiaya para mahasiswa juniornya. Aksi kekerasan yang berdalih pembinaan kedisiplinan ini telah menyebabkan beberapa praja (junior) meninggal dunia dan lainnya cacat fisik dan mental.
Kekerasan serupa juga telah terjadi di sejumlah perguruan tinggi di Makasar, Yogyakarta, Surabaya, dan daerah lain. Penyebabnya macam-macam. Dari ketidakpuasan terhadap proses pemilihan rektor, biaya kuliah yang dianggap mahal, hingga pengalihan status perguruan tinggi yang dinilai lebih berorientasi bisnis.
Bukan hanya di perguruan tinggi. Di SD, SMP, dan SMA, aksi kekerasan pun acapkali terjadi. Entah itu tawuran antar siswa maupun kekerasan yang dilakukan oleh guru. Yang terakhir ini biasanya dengan dalih memberi pembejaran kepada siswa yang mbadung, tidak disiplin, dan sebagainya.
Apapun penyebabnya, berbagai kekerasan di institusi pendidikan kita itu jelas memprihatinkan. Para mahasiswa/siswa merupakan generasi penerus. Mereka adalah para calon pemimpin bangsa dan negara. Bila semasa belajar mereka terbiasa dengan kekerasan, baik aktif (terlibat langsung) maupun pasif (menyaksikan), maka bisa dipastikan cara-cara kekerasan itu pulalah yang akan mereka tempuh untuk menyelesaikan segala perbedaan ketika mereka sudah menjadi ‘orang’.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan seluruhnya kepada mahasiswa/siswa. Berbagai aksi kekerasan yang mereka lakukan seringkali penyebabnya justru para ‘orang tua’. Di IPDN para dosen dan pengasuh seolah membiarkan praja senior berbuat sesuka hati terhadap juniornya. Dan, itu telah berlangsung selama tahunan. Di UISU dua pihak yang bersengketa terhadap kepemilikan/pengelolaan yayasan lebih memilih menyelesaikannya dengan cara-cara kekerasan daripada jalur hukum. Sedihnya, mereka, para ‘orang tua’, itu sengaja melibatkan pada mahasiswa untuk membela kepentingan mereka.
Sedangkan kekerasan yang sering terlihat di sejumlah kampus lain biasanya terjadi lantaran mahasiswa lebih dipandang sebagai objek dan bukan subjek. Segala keputusan yang menyangkut perguruan tinggi, terutama mahasiswa, acapkali diambil secara sepihak oleh rektorat tanpa melibatkan mahasiswa. Begitu pula kekerasan yang berlangsung di sekolah-sekolah. Para guru seolah punya hak prerogatif memutuskan dan berbuat sesukanya terhadap para siswa yang dianggap mbeling.
Bila semua ini terus berlangsung di institusi-institusi pendidikan kita, lantas apa jadinya bangsa dan negara ini. Hukum hanya akan menjadi asesoris. Sedangkan yang berlaku hukum rimba, adu otot, dan anarkisme.
Berbeda pendapat tentu saja boleh. Berunjuk rasa juga boleh. Bahkan yang terakhir ini merupakan salah satu ciri demokrasi. Yang tidak boleh adalah menyelesaikan perbedaan pendapat dengan kekerasan dan anarkisme. Karena itu, barangkali ada baiknya bila tema-tema seperti demokrasi, menghargai pendapat orang lain, dan penyelesaian perbedaan pendapat dijadikan kurikulum di kampus-kampus dan sekolahan kita. Tentu saja para ‘orang tua’ –rektor dan pembantunya, dosen, dan guru-guru– harus menjadi teladan terlebih dulu.
Para mahasiswa/siswa merupakan calon pemimpin bangsa. Selain menimba ilmu pengetahuan, mereka juga harus diajarkan cara-cara bermasyarakat dan tata hidup yang baik. Tanpa ini semua, kekerasanlah yang akan jadi hukum.
Republika, Senin, 14 Mei 2007
Formalisme Ijazah yang Menyesatkan
Diterbitkan Maret 16, 2007 Pendidikan 1 Comment

RANCANGAN perubahan paket undang-undang bidang politik mulai digelindingkan ke publik untuk didengar dan dievaluasi. Salah satu yang menonjol adalah dicantumkannya syarat sarjana bagi calon presiden, anggota DPR, dan DPD. Syarat itu naik satu tingkat karena dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tercantum ketentuan bahwa seorang presiden, anggota DPR, dan DPD cukup berijazah SMA.
Syarat seperti itu lagi-lagi memperlihatkan betapa pikiran tentang kualitas di negeri ini sangat formalistis. Yang bermutu selalu berarti produk pendidikan formal. Padahal yang dibutuhkan sesungguhnya adalah kecakapan. Seorang pemimpin atau para elite yang cakap berlogika atau yang memiliki inteligensia dan cakap mentalitas. Dan, harus disadari benar bahwa kecakapan seperti ini tidak semata-mata lahir dari pendidikan formal.
Apa yang terjadi selama ini? Formalisme ijazah menghasilkan pula mentalitas formalistis. Andai pemilu dilaksanakan bulan depan dengan syarat seorang presiden dan para calon anggota DPR harus bergelar profesor doktor, dalam sebulan akan lahir ribuan profesor doktor dengan begitu gampangnya. Soal kecakapan yang menyangkut kapasitas dan kapabilitas tidaklah penting. Formalisme ijazah telah menyuburkan mentalitas sakit.
Selain bahaya formalisme, syarat sarjana adalah pelanggaran hak asasi warga yang dijamin dalam undang-undang dasar. Undang-undang dasar menegaskan dengan jelas, jabatan presiden, termasuk anggota DPR, terbuka bagi semua orang. Itu berkorelasi dengan hak setiap warga negara untuk berbicara dan berorganisasi.
Ketika undang-undang mengatur syarat bahwa seorang presiden dan para anggota DPR serta DPD harus sarjana, undang-undang itu menutup peluang bagian terbesar rakyat Indonesia untuk menjadi presiden atau anggota DPR. Itu artinya juga undang-undang telah membelokkan DPR dan presiden dari hakikat sebagai salah satu tonggak institusi demokrasi menjadi institusi akademik.
Syarat sarjana hanya bisa diterima dari perspektif HAM dan demokrasi apabila negara telah menjalankan tugasnya dengan baik dalam perkara mencerdaskan rakyat. Misalnya, seluruh anak Indonesia usia sekolah telah, sekurang-kurangnya, menikmati pendidikan SD sembilan tahun atau SMA yang murah dan bahkan gratis. Atau kalau negara telah melaksanakan pendidikan tinggi yang murah dan terjangkau oleh semua anak bangsa ini.
Pendidikan menengah, apalagi perguruan tinggi, masih menjadi barang mewah di Indonesia. Perguruan tinggi di negeri ini hanya menampung tidak lebih dari 10% seluruh warga negara. Bila sarjana menjadi syarat, yang berhak menjadi anggota DPR dan presiden hanyalah 10% dari penduduk. Lalu, di mana hak yang 90% itu? Apakah mereka kehilangan hak karena tidak menginjak bangku perguruan tinggi? Itu pengkhianatan serius terhadap konstitusi dan demokrasi.
Lalu, di manakah kesempatan bagi warga negara yang cakap dan kompeten karena autodidak? Atau yang cakap pada bidangnya karena pengalaman menggeluti pekerjaan di luar jalur pendidikan formal? Dengan mengedepankan ijazah kita mengubah lembaga presiden dan parlemen dari esensinya sebagai lembaga politik dan demokrasi menjadi lembaga profesi. Itu kekeliruan serius. Karena tidak ada, dan tidak perlu ada, sekolah khusus untuk menjadi presiden dan anggota DPR.
Karena itu, tugas partai politiklah untuk menemukan calon-calon yang memiliki kecakapan dalam berbagai bidang agar menjadi kadernya. Dan, sekali lagi, calon yang cakap bisa lahir dari berbagai jalur dan bidang. Perguruan tinggi hanyalah salah satu.
Kecakapan amat mendasar yang menjadi kebutuhan setiap warga negara adalah kemampuan hitung, baca, dan tulis. Itulah tugas negara yang relatif telah dilaksanakan secara baik. Walaupun angka buta huruf masih tinggi, tidak lagi menjadi penyakit mayoritas penduduk Indonesia.
Syarat itu aman dari perspektif demokrasi, aman dari perspektif HAM, dan aman dari segi prestasi yang telah dicapai negara atau pemerintah dalam mencerdaskan bangsanya.
Media Indonesia, Jum’at, 16 Maret 2007
Harus Matang, Standarisasi Pendidikan
Diterbitkan Desember 4, 2006 Pendidikan 3 Komentar - komentar

Pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sedang mengembangkan pendidikan ke arah standarisasi serta sertifikasi.
Di dalam konsep ini, semua instrumen yang terlibat dalam pendidikan, haruslah bekerja secara profesional. Untuk mencapai itu, maka pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan-aturan ideal. Aturan standar itu meliputi isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian. Semuanya indikator tersebut dijadikan sebagai panduan dalam menyusun standar tadi.
Dalam kerangka itulah, misalnya, BSNP menyusun sebuah panduan tenaga pendidikan. Tenaga pendidikan yang dikatakan sebagai memenuhi syarat memiliki aturan khusus, termasuk pendidikan dan sertifikasinya. Maka guru di seluruh lembaga pendidikan diasumsikan akan memiliki kemampuan yang kurang lebih sama sehingga dapat mencapai tujuan pemerintah.
Langkah berikutnya oleh BSNP adalah sarana sekolah. BSNP juga menyusun rambu-rambu dalam hal jumlah murid dalam satu kelas, jumlah ruang kelas, ruang perpustakaan sampai ruang guru. Menurut anggota BSNP, hal ini dilakukan supaya sekolah tidak dijadikan sebagai ruang yang dipaksakan. Jadi baik di kota maupun di desa, akan ada standar ideal dimana setiap sekolah mengupayakan mencapainya.
Di negeri ini yang namanya aturan dan berbicara soal “ideal-ideal,” bahkan dalam istilah standar sekalipun, setiap pejabat amat mahir. Mereka bisa berbicara mengenai sesuatu yang ingin dicapai. Karena apa? Karena memang pencapaian dari penyusunan sebuah standar amatlah mudah. Pejabat pendidikan tinggal mengumpulkan para staf ahlinya dan kemudian mengadakan rapat.
Tetapi bagaimana dengan hasilnya. Tunggu dulu. Sebab pendidikan kita tidak memiliki kaitan dengan dunia pragmatis. Persoalan apakah yang direncanakan atau distandarkan akan dilakukan atau tidak, pemerintah kelihatannya tidak mau terlalu memikirkannya.
Bagaimana BSNP bisa menyusun sebuah langka standarisasi sementara dengan jelas kita tahu bahwa regulasi mengenai pendidikan masih banyak bolongnya. Ambil contoh mengenai sertifikasi guru. Karena usulan itulah maka banyak guru kemudian melakukan aksi sederhana berupa membeli gelar dan sertifikat mengajar misalnya. Mereka tidak punya waktu dan tidak punya tenaga untuk berbagi antara mengajar sebagai usaha memenuhi kebutuhannya dengan mengantisipasi diri mengejar tuntutan profesional.
Logika material jelas lebih banyak bermain di dalam pikiran para pejabat Departemen Pendidikan Nasional. Dalam kasus Ujian Nasional, mereka lebih banyak bermain mengenai logika bahwa jika nilai UN “ditarik” ke atas, maka nilai tersebut akan mendorong prestasi.
Sayangnya, logika tersebut dipermainkan di tingkat “lapangan”. Para guru kemudian menggunakannya sebagai sarana untuk menambah income dan kemudian melakukan kecurangan dengan membeli soal atau memecahkan soal ujian ketika ujian sedang berlangsung. Bukankah Menteri Pendidikan Nasional tidak mungkin mengawasi setiap ruang ujian?
Kembali dalam soal standar tadi. Pemerintah kita harapkan jangan terlalu banyak sekali bermain aturan dan cara-cara yang akhirnya sia-sia. Sekarang ini ada setengah ruang kelas mengalami kerusakan parah. Pemerintah sebaiknya melakukan pembenahan terhadap hal itu sebagai cermin keseriusan. Lagipula, alangkah lebih baiknya jika pemerintah berupaya menambah dana untuk pendidikan sesuai amanah undang-undang daripada menyusun standar pendidikan yang merupakan amanah undang-undang pula. Isi undang-undang seharusnya tidak dipilah dan dipilih demi kepentingan popularitas pemerintah semata. Kalau jaminan kesejahteraan guru dan kualitas fisik sekolah diperbaiki, barulah pemerintah bebas menetapkan apa saja. (***)
Sinar Indonesia Baru, 4 Desember 2006

Di Bawah ‘Sandera’ Kurikulum
Diterbitkan Oktober 4, 2006 Kurikulum Pendidikan Media Indonesia, Rabu, 04 Oktober 2006
KURIKULUM pendidikan Indonesia rupanya terus ditakdirkan berada dalam dunia yang berbeda. Dunia ideal untuk memperbaiki mutu pendidikan dan tataran praksis yang justru menghasilkan kenyataan sebaliknya. Dari sudut pandang pemerintah, kurikulum sering dianggap seperti ‘mantra baru’, sementara publik justru menganggapnya sebagai ‘petaka baru’.
Kurikulum sering dinilai tidak hanya menjadi momok, tetapi juga mengganggu dunia pendidikan. Pendidikan kita seperti disandera oleh sistem kurikulum yang tak kunjung menghasilkan apa yang ada dalam cita-cita ideal kita.
Seperti juga sekarang telah muncul Kurikulum 2006 atau kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Ia merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 2004. Kurikulum yang sesungguhnya belum sepenuhnya dilaksanakan. Bahkan, di beberapa sekolah masih ada yang melaksanakan Kurikulum 1994.
Seperti yang sudah-sudah, munculnya kurikulum baru itu juga disambut kontroversi. Ada yang optimistis dan juga sebaliknya. Yang optimistis berkeyakinan KTSP akan mampu mengatasi mandulnya kreativitas guru karena kurikulum itu dibuat oleh sekolah, oleh para guru. Sekolahlah sebagai penentu pendidikan, bukan pemerintah pusat. Kini sekolah dan komite sekolah harus bermitra mengembangkan kurikulum sendiri.
Guru, dalam kurikulum baru itu, benar-benar digerakkan agar menjadi manusia profesional. Ia dipaksa untuk meninggalkan cara-cara konservatif dan menggantinya dengan cara kerja yang kreatif. Selama ini para guru lebih banyak menampakkan wajahnya sebagai perpanjangan wajah birokrasi. Ia terlampau patuh pada apa yang disebut petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan.
Sementara itu, yang pesimistis mengolok-olok KTSP sebagai (K)urikulum (T)idak (S)iap (P)akai karena lahir terlalu prematur. Sumber kelemahannya bukan berada di mana-mana, melainkan ada pada guru sendiri. Seberapa banyak guru yang kreatif dan siap dalam spirit perubahan zaman yang disyaratkan KTSP? Bukankah pendidikan keguruan di negeri ini memang tidak membekali guru sebagai penyusun kurikulum?
Selain persoalan guru, prasyarat lain seperti gedung dan komitmen pemerintah juga akan menjadi kendala yang serius. Kita khawatir kurikulum baru itu pun akan sama nasibnya dengan kurikulum-kurikulum lainnya. (Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004).
Ironisnya lagi, meski KTSP benar-benar memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengembangkan pendidikan, ujung dari seluruh proses itu juga harus lewat ujian negara. Ujian negara akan membuat guru sibuk bagaimana agar seluruh siswa lulus, dan pada akhirnya lupa mengembangkan kreativitas sekolah.
Kita khawatir niat suci pemerintah untuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada sekolah dan guru, justru menjadi belenggu. Sebab, pemerintah sendiri belum menyiapkan guru-guru untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum berbasis sekolah tersebut. Kita khawatir KTSP tidak menjadi jawaban yang tepat atas dunia pendidikan kita yang masih terhuyung-huyung untuk menghadapi persaingan global yang keras.



Wuara merdeka cybernews
26 April 2010 | 23:30 wib | Daerah
1.455 Siswa Tak Lulus UN
30 Persen Siswa MAN 2 Tak Lulus
Semarang, CyberNews. Sebanyak 1.455 siswa SMA/MA/SMK, dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional (UN) utama oleh Dinas Pendidikan Semarang. Nilai mereka ada di bawah standar rata-rata yang ditetapkan yakni 5,5. Demikian disampaikan ketua panitia UN Semarang Bunyamin, Senin (26/4).
Disebutkan, untuk SMA/MA total ada 900 siswa yang berasal dari program IPA 395 anak, IPS 439 anak, Bahasa 55 anak, dan Keagamaan (khusus MA) 11 anak. Sementara untuk SMK, 555 siswa juga dinyatakan tidak lulus. "Persentase banyaknya siswa yang tidak lulus UN tidak bisa dibandingkan dengan tahun lalu. Sebab, tahun ini sistemnya berbeda, ada UN ulangan," kata dia.
Meski tak lulus UN utama, lanjut Bunyamin, bukan berarti siswa tersebut tak lulus sekolah. Sebab, mereka masih diberi kesempatan untuk mengulangi lagi pada UN ulangan yang diselenggarakan 10 Mei mendatang. "Ini baru tahap pertama pengumuman hasil UN, belum hasil final. Berbeda dengan tahun lalu yang sekali dinyatakan tidak lulus UN berarti tidak lulus sekolah. Mereka masih diberi kesempatan untuk mengulang mata pelajaran yang gagal pada UN ulangan," jelasnya.
Karena itu Bunyamin mengimbau agar para orang tua dan siswa yang dinyatakan tidak lulus UN tidak perlu panik lebih dulu. Sebab, masih ada satu kesempatan lagi untuk mengulang. "Mereka bisa mempersiapkan diri sejak sekarang untuk menghadapi mata pelajaran yang tidak lulus," imbuhnya.
30 Persen Tak Lulus
Di SMAN 3 Semarang, seorang siswa dari program IPS dinyatakan tidak lulus UN untuk mata pelajaran Ekonomi. Menurut Kepala SMAN 3, Hari Waluyo, hal itu disebabkan karena siswa mengalami kecelakaan saat ujian. Meski begitu, SMAN 3 tetap menduduki peringkat pertama se-Kota Semarang baik dari program IPA dan IPS. Dari 525 siswa yang ikut UN, yang lulus hampir mencapai 100%.
Sementara di MAN 2 Semarang di Jl Bangetayu, dari 214 siswa yang mengikuti UN, sebanyak 64 siswa atau 30 persen diantaranya tidak lulus UN. Mereka yang tidak lulus terdiri atas 39 siswa dari program IPA, dan 25 siswa dari program IPS. Pengumuman kelulusan, langsung diberitahukan kepada orang tua siswa lewat kurir.
Menurut Wakamad Humas MAN 2 Sukat A Muiz MPd I, banyaknya siswa yang tidak lulus diperkirakan karena kondisi fisik dan mental siswa kurang siap. Disamping itu dengan adanya kebijakan adanya UN ulangan juga membuat semangat siswa jadi menurun.
"Kami sudah melaksanakan proses pendidikan dan prosedur kegiatan belajar mengajar dengan baik. Kalaupun ada siswa yang tidak lulus, barangkali karena ada hal-hal lain di luar itu," katanya.
Bagi siswa yang tidak lulus pihak sekolah akan memberikan pembelajaran sesuai dengan prosedur, serta dukungan agar mereka bisa lebih siap dan bisa lulus dalam UN ulangan yang akan digelar 10-14 Mei di masing-masing rayon. "Tidak lulus ujian bukan berarti kiamat. Namanya ujian pasti ada yang berhasil dan tidak. Karena itu kami ingin memotivasi siswa supaya berhasil pada ujian ulang mendatang," kata Sukat.
( Fani Ayudea /CN13 )

suaramerdeka cybernews
26 April 2010 | 11:58 wib
Olimpiade Komputer Unisbank 2010
Unisbank Semarang baru-baru ini mengadakan lomba Olimpiade Komputer Unisbank 2010. Jenis yang diperlombaan adalah pemrograman pascal dan desain grafis. Kegiatan ini diikuti oleh 139 peserta dari 34 SMA/SMK se-Jawa Tengah, dan juga terdapat peserta tamu yang masih duduk dibangku SMP.
Peserta cukup beragam, mulai dari yang pernah mendapatkan juara di kompetisi nasional maupun pemula. Siswa SMP yang ikut dalam
kompetisi ini pernah memperoleh juara International Mathematics and Science Olympiad (IMSO) 2007 for primary school.
Tim juri untuk desain grafis dari Tim Art Suara Merdeka, sedangkan pemrograman pascal dari TOKI Biro UGM Yogyakarta. Dari TOKI Biro UGM salah satunya adalah Riza Oktavian, peraih medali perunggu pada IOI Croatia 2007.
Selain mendapat Piala Bergilir dari Gubernur Jateng dan Piala tetap, para pemenang mendapatkan hadiah 2 buah netbook untuk masing-masing kategori, uang pembinaan, dan 1 ticket touring ke Singapore dipersembahkan khusus untuk juara pemrograman pascal.

Hasil lengkap:
A. Pemrograman Pascal:
1. ABDUL ROSYID B.H. SMAN 3 SEMARANG 2. AKBAR JUANG SAPUTRA SMAN SBBS SRAGEN 3. RASMUNANDAR RUSTAM SMAN SBBS SRAGEN 4. ALFAN NUR FAUZAN SMAN SBBS SRAGEN 5. ADY DWI NUGROHO SMAN SBBS SRAGEN 6. BASITH ZAINURROHMAN SMAN 2 PURWOKERTO 7. MUHAMMAD ARVA AMRIZAL SMA ASSALAM SUKOHARJO 8. ZULFIKRI KHAIR SMA SEMESTA SEMARANG
B. Desain Grafis:
1. Eko Septian Nugroho SMK Grafika Bhakti Nusantara Smg 2. Moga Adiangga SMAN 2 Purwokerto 3. F. Mario SMK Grafika Bhakti Nusantara Smg 4. Wellyam Kristian Wibowo SMK Nusaputera 1 Semarang 5. Ady Nugroho SMK Umar Fatah Rembang 6. Achmad Tri Bustomi SMAN Karang Pandan Karanganyar 7. M. Adi SN SMAN SBBS Sragen 8. Sharon Angelia SMA Krista Mitra Semarang. (CN23)

Jawa pos
[ Senin, 26 April 2010 ]
Nilai Unas Siswa SMA/MA/SMK di Surabaya Jeblok
SURABAYA - Mulai hari ini, SMA/MA/SMK di Jatim mengumumkan hasil ujian nasional (unas). Mekanisme pengumuman hasil unas sepenuhnya diserahkan kepada tiap sekolah. Ironisnya, Surabaya yang menjadi barometer pendidikan di Jatim belum mampu menunjukkan prestasi yang membanggakan dari jumlah kelulusan siswa maupun peraih nilai unas tertinggi. Sepuluh besar nilai unas tertinggi untuk jurusan bahasa, IPA, dan IPS diraih sekolah-sekolah dari luar Kota Surabaya.

Lebih ironis lagi, tingkat kelulusan sekolah kejuruan (SMK) terjun bebas hingga lima persen. Jumlah siswa yang lulus memang naik satu persen jika dibandingkan dengan tahun lalu. Namun, kenaikan hanya satu persen tersebut tidak memenuhi target Dinas Pendidikan Surabaya.

Tahun lalu, tingkat kelulusan siswa SMA dan MA mencapai 96 persen, sedangkan tahun ini 97,4 persen. Padahal, targetnya adalah 98 persen. Tahun lalu, tingkat ketidaklulusan siswa SMK mencapai 96,5 persen. Tahun ini jeblok menuju angka 91,18 persen.

Berdasar data yang dirilis Dispendik Surabaya, siswa jurusan IPA berjumlah 10.034 orang. Sebanyak 69 anak tidak lulus. Di antara 8.512 peserta ujian jurusan IPS, 151 anak tidak lulus. Sebanyak sepuluh siswa jurusan bahasa di antara 193 peserta ujian tidak lulus (lihat grafis). Total siswa SMK yang tidak lulus ujian, 1.297 di antara 14.704 siswa.

Kendati demikian, Kepala Dispendik Surabaya Sahudi mengklaim, secara keseluruhan, ada kenaikan untuk tingkat kelulusan SMA. Terutama, dalam hal kualitas. Dia menyebutkan, ada dua indikator keberhasilan itu. Pertama, persentase kelulusannya naik jika dibandingkan dengan tahun lalu. "Termasuk, nilai rata-rata," ujarnya.

Kedua, berdasar peringkat di Jawa Timur, jurusan IPS di Surabaya masuk sepuluh besar. Surabaya menempati ranking tujuh. "Meski Surabaya belum bisa menembus lima besar, tahun ini lebih baik daripada tahun lalu," jelasnya.

Sahudi mengakui bahwa persentase kelulusan sekolah kejuruan menurun. "Tapi, saya tidak tahu apa penyebabnya. Kami masih menganalisis apa yang mengakibatkan turunnya nilai siswa SMK," terang mantan kepala SMAN 15 tersebut. Kendati demikian, dia berjanji akan melakukan berbagai upaya perbaikan.

Namun, keberhasilan yang diklaim Sahudi itu tentu masih jauh dari harapan dan reputasi Surabaya sebagai ibu kota Jawa Timur. Betapa tidak, meski mampu menempati posisi tujuh untuk jurusan IPS, tidak satu pun SMA Surabaya yang mampu menembus sepuluh besar. Demikian juga untuk IPA dan bahasa.

Selain itu, tidak ada satu pun siswa SMA/MA Surabaya yang mampu menembus sepuluh besar dalam meraih nilai ujian tertinggi. Siswa-siswa SMA/MA Surabaya tertinggal jauh dari siswa Sidoarjo yang selalu berada di daftar sepuluh besar.

Wali Kota Bambang D.H. mengaku belum puas terhadap hasil unas. Apalagi, prestasi Surabaya juga disalip kota-kota kecil lain di Jawa Timur. Memang, kata dia, persentase tingkat kelulusan SMA naik. "Meski tidak signifikan, kami apresiasi upaya siswa," ujarnya.

Bambang menyayangkan penurunan tingkat kelulusan siswa SMK. "Tapi, nggak apa. Masih ada waktu untuk ujian ulangan. Saya minta, waktu yang ada dimanfaatkan sebaik mungkin oleh guru maupun siswa agar mempersiapkan diri dengan baik," jelasnya.

Dia menuturkan, selama ini, pemkot telah berupaya untuk menaikkan kualitas sekolah kejuruan. Salah satu caranya, menggelontor anggaran besar. SPP siswa SMK juga sudah digratiskan. "Itu ternyata tidak cukup. Saya minta, dispendik melakukan berbagai upaya untuk lebih meningkatkan kualitas SMK nanti," katanya.

Bambang mengaku belum menerima laporan tentang anjloknya prestasi sekolah kejuruan dalam unas kali ini. "Saya tidak bisa memberi vonis begitu saja. Kami evaluasi dulu," ujarnya.

Karena itu, dia meminta agar dispendik memberi perhatian lebih terhadap SMK. Bukan hanya perhatian dari sisi kuantitasnya. Dari sisi jumlah, peningkatan siswa SMK memang meningkat tajam. Rasio siswa SMA:SMK mencapai 50:50 persen. "Dulu, baru 70:30," ungkapnya.

Menurut Bambang, kualitas memang belum maksimal. "Namun, mudah-mudahan, peningkatan kualitas akan diperbaiki tahap demi tahap," ujarnya. Yang perlu digarisbawahi, kata dia, unas bukan menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan pendidikan. "Itu hanya salah satu indikator keberhasilan," imbuhnya.

Pakar pendidikan dari Unesa, Martadi MSN, menyatakan bahwa unas SMK jeblok karena beban yang harus ditanggung siswa SMK jauh lebih berat daripada SMA. Siswa SMK juga konsen terhadap ujian praktikum yang notabene lebih berat. Sebab, mereka diuji industri maupun asosiasi industri.

Selain itu, menurut Martadi, teks pelajaran yang diberikan kepada siswa SMK lebih umum daripada SMA. Misalnya, pelajaran bahasa Inggris dan matematika. "Siswa SMK lebih ditekankan pada praktikum-praktikum," jelasnya.

Di satu sisi, siswa SMA betul-betul dipersiapkan untuk fokus menghadapi unas. Sebab, hasil unas dipakai untuk masuk perguruan tinggi. "Berbeda dengan siswa SMK yang lebih mengutamakan bekerja. Kebanyakan fokus terhadap ujian praktikum," ungkapnya.

Soal prestasi, jika dibandingkan dengan kota lain, Surabaya seharusnya lebih baik. Sebab, dari sisi anggaran maupun fasilitas pendidikan, Surabaya dinilai lebih baik daripada kota lain. "Logikanya kan harus lebih baik. Ini yang perlu dievaluasi. Apa yang salah dengan proses pembelajaran terhadap para siswa," katanya. (kit/fim/c12/mik)



koran tempo
Edisi 26 April 2010
Bali Peringkat Tertinggi Kelulusan SMA Se-Indonesia
Di sejumlah daerah, hasil ujian diantar ke rumah siswa.
BALI - Provinsi Bali menempati peringkat pertama dalam hal kelulusan siswa sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan tingkat nasional. Tahun ini, menurut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Bali I Wayan Suastha, angka kelulusan untuk jenjang SMA mencapai 97,25 persen, sedangkan untuk jenjang SMK mencapai 97,47 persen. Pengumuman kelulusan siswa secara serentak akan dilakukan hari ini.
"Untuk ukuran nasional, masih terhitung sangat bagus," kata dia kepada Tempo kemarin. Namun, Suastha melanjutkan, "Saya belum mengetahui ranking Bali dari sisi kelulusan siswa SMA/SMK tahun ini."
Ihwal peringkat Bali sebagai peringkat tertinggi kelulusan siswa SMA dan SMK secara nasional diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat M. Wahyudin Zarkasyi secara terpisah. Tahun ini angka kelulusan SMA di Jawa Barat mencapai 97,14 persen, sedangkan jenjang SMK sebanyak 94,04 persen.
"Di tingkat nasional, Jawa Barat berada di posisi kedua, setelah Bali," kata dia di Bandung kemarin.
Meski disebut-sebut menduduki peringkat tertinggi, menurut Suastha, sejatinya angka kelulusan tahun ini turun dibanding tahun lalu. Sebab, pada 2009, angka kelulusan SMA di Bali mencapai 99,92 persen, sedangkan SMK mencapai 99,59 persen.
Menurut dia, penurunan persentase itu terjadi karena penerapan sistem baru, yang mengedepankan prestasi dan kejujuran serta peningkatan kualitas soal-soal yang diujikan dalam ujian nasional. "Siswa juga lebih memprioritaskan pelajaran tertentu dan cenderung mengorbankan pelajaran yang dianggap lebih ringan," kata Suastha.
Berkaitan dengan pengumuman hasil ujian hari ini, ada beberapa model yang diambil oleh pengelola sekolah. Di Bali, menurut Suastha, pengumuman akan dibacakan di sekolah. Sementara itu, sejumlah pengelola sekolah di Jawa Barat dan Jawa Timur mengambil kebijakan berbeda, yakni tak mengumumkan kelulusan di sekolah. Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji menyatakan setiap sekolah akan menyampaikan hasil ujian nasional, sekaligus kelulusan siswanya, lewat kiriman pos. "Mulai Ahad sore akan dikirimkan ke rumah siswa," kata dia kemarin.
Model pengantaran hasil ke rumah juga ditempuh Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Bedanya, mereka tidak mengirim lewat pos, tapi menyiapkan jasa kurir, yang akan mendatangi alamat para siswa. Talkin, Kepala Dinas Pendidikan Mojokerto, menyatakan jumlah tenaga kurir disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sekolah.
"Nanti siswa tinggal menunggu saja di rumah. Surat hasil ujian akan dikirim ke rumah masing-masing," kata dia kemarin. Pilihan jasa kurir diambil, menurut Talkin, di antaranya untuk mengantisipasi tindakan anarkistis siswa dalam merayakan kelulusan mereka. Untuk itulah, para siswa dilarang datang ke sekolah. Model pemberitahuan kelulusan lewat surat yang diantar ke rumah masing-masing siswa juga dipilih Sumardi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Madiun, Jawa Timur, untuk sekolah-sekolah yang berada di wilayahnya. ROFIQI HASAN | ANWAR SISWADI | MUHAMMAD TAUFIK | ISHOMUDDIN | DWI WIYANA

Selasa, 20 April 2010

Posisi Daya Saing Dan Spesialisasi Perdagangan Teh Indonesia Dalam Menghadapi Globalisasi
Lucky Firmansyah* Rosihan Asmara** Nida Mulyawaty Maarthen**
Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) sebagai negara agraris dan maritim. Awal tahun 1994 sekitar 80 persen dari seluruh rakyat Indonesia berada di pedesaan yang struktur masyarakatnya masih berbasis agraris. Disisi lain, sektor pertanian khususnya sub sektor perkebunan adalah penghasil komoditi ekspor non migas yang cukup potensial dan peranannya dalam sektor perdagangan luar negeri sangat besar. Teh (Camelia sinensis) merupakan salah satu komoditas perkebunan penyumbang devisa negara dan juga penyerap banyak tenaga kerja. Teh sebagai komoditas penyumbang devisa mempunyai peranan penting dalam Pembangunan Negara. Pada tahun 2006, kontribusi perkebunan teh (bagian hulu) sebesar Rp 1,2 triliun dan mempekerjakan sekitar 320.000 pekerja atau setara untuk menghidupi 1,3 juta orang bila dihitung bersama keluarga. Sementara dibagian hilirnya, industri teh menyumbang pendapatan bagi negara sebesar Rp 2,5 triliun dan mempekerjakan sekitar 50.000 orang pekerja. Mempertimbangkan peranan strategis tersebut selayaknya industri teh nasional dapat berkembang dan menjadi komoditas unggulan. Namun, industri teh nasional mengalami banyak hambatan dikarenakan globalisasi perdagangan. Globalisasi perdagangan menyebabkan peningkatan persaingan dengan industri teh dari negara lain. Permasalahan dalam pengembangan dan peningkatan daya saing teh Indonesia juga nampak dari fluktuasi kontribusi negara tujuan ekspor teh Indonesia dan pengambil-alihan beberapa pangsa pasar teh Indonesia. Kondisi tersebut merupakan tantangan bagi perkembangan industri teh di Indonesia dalam upaya mewujudkan teh sebagai komoditas unggulan.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana posisi daya saing teh Indonesia dengan negara lain di pasar internasional dan bagaimana spesialisasi perdagangan teh Indonesia di perdagangan internasional. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis daya saing teh Indonesia dengan negara lain di pasar internasional dan untuk menganalisis spesialisasi perdagangan teh Indonesia di perdagangan internasional. Penelitian ini dilakukan di Indonesia. Adapun yang menjadi objek penelitian adalah posisi daya saing dan spesialisasi perdagangan komoditas teh bagi Indonesia, Kenya, Sri Lanka, China dan India pada periode tahun 1981-2005. Data yang digunakan adalah data nilai ekspor dan nilai impor komoditas teh, nilai ekspor total dan nilai impor total masing-masing negara tersebut; data nilai ekspor dan nilai impor teh, nilai total ekspor dan nilai total impor dunia; data luas areal tanam, hasil produksi teh, produktivitas, konsumsi teh domestik; dan data sentra produksi teh Indonesia. Daya saing komoditas teh Indonesia, Kenya, Sri Lanka, China dan India dianalisis dengan menggunakan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA). Spesialisasi perdagangan teh Indonesia, Kenya, Sri Lanka, China dan India dianalisis dengan menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP).
Posisi daya saing teh Indonesia lebih rendah dibandingkan Kenya, Sri Lanka, India, dan China. Hal ini diindikasikan dari nilai indeks RCA teh Indonesia (0,34) dibawah negara Kenya (27,77), Sri Lanka (19,31), India (1,80), dan China (0,36). Daya saing teh Indonesia dibawah rata-rata negara-negara lain tersebut dipengaruhi oleh rendahnya nilai ekspor teh Indonesia sedangkan nilai ekspor total Indonesia cukup tinggi. Teh Indonesia kompetitif dengan teh China atau dapat dikatakan pesaing terdekat teh Indonesia adalah teh China. Hal ini diindikasikan dari nilai indeks RCA yang selisihnya tidak berbeda jauh. Dibandingkan dengan China (US$ 358.843.600) nilai ekspor teh Indonesia (US$ 122.276.280) lebih rendah. Terlebih nilai ekspor total Indonesia (US$ 40.145.466.960) yang jauh lebih rendah dibandingkan China. Namun, nilai ekspor total Indonesia diatas negara Kenya (US$ 1.586.018.400), Sri Lanka (US$ 3.122.836.000), dan India (US$ 29.428.444.000).
Indonesia cenderung sebagai negara eksportir teh dengan nilai indeks sebesar 0,97. Nilai ISP teh Indonesia diatas Kenya (0,96), India (0,96), dan China (0,93), namun dibawah Sri Lanka (0,99). ISP teh Indonesia yang cukup tinggi dipengaruhi perbandingan nilai ekspor impor teh Indonesia yang cukup tinggi dibandingkan negara lain. Nilai impor teh Indonesia (US$ 1.982.080) yang rendah dibandingkan Kenya (US$ 5.659.880), Sri Lanka (US$ 4.264.080), China (US$ 13.428.080), dan India (US$ 6.941.360). Nilai ekspor teh Indonesia US$ 122.276.280) juga lebih rendah dibandingkan negara Kenya (US$ 346.237.360), Sri Lanka (US$ 497.366.520), China (US$ 358.843.600), dan India (US$ 430.980.640).
http://rosihan.lecture.ub.ac.id/

Rabu, 14 April 2010

teori perdagangan internasional

EORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

I. Teori Praklasik Merkantilisme
Merkantilisme adalah suatu aliran/filsafat ekonomi yang tumbuh dan berkembang dengan pesat pada abad XVI s.d XVIII di Eropa Barat.
Ide pokok Merkantilisme adalah sebagai berikut:
a. Suatu Negara/Raja akan kaya, makmur dan kuat bila ekspor lebih besar daripada impor ( X > M ).
b. Surplus yang diperoleh dari selisih ( X - M ) atau ekspor neto yang positif tersebut diselesaikan dengan pemasukan logam mulia ( LM), terutama emas dan perak dari luar negeri.
c. Pada waktu itu LM digunakan sebagai alat pembayaran sehingga negara/raja yang memiliki LM yang banyak akan kaya, makmur dan kuat.
d. LM tersebut digunakan untuk membiayai armada perang guna memperluas perdagangan luar negeri dan penyebaran agama.
e. Penggunaan kekuatan armada perang untuk memperluas perdagangan luar negeri ini diikuti dengan kolonisasi di Amerika Latin, Afrika, dan Asia terutama dari abad XVI s.d XVIII.
Untuk melaksanakan ide tersebut diatas, merkantilisme menjalankan kebijakan perdagangan (trade policy) sebagai berikut :
a. Mendorong ekspor sebesar-besarnya, kecuali LM
b. Melarang/membatasi impor dengan ketat, kecuali LM.
Kelebihan dari teori merkantilisme adalah negara akan memperbesar jumlah ekspor karena negara/raja akan kaya, makmur dan kuat bila ekspor > impor. Sedangkan kelemahan dari teori merkantilisme yaitu LM yang digunakan sebagai alat pembayaran akan menyebabkan banyaknya jumlah uang yang beredar sehingga akan terjadi inflasi dan harga barang impor menjadi rendah, akhirnya LM berkurang.

II. Teori Klasik
A. Absolute Advantage dari Adam Smith
Teori Absolute Advantage lebih mendasarkan pada besaran/variabel riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerjayang dipergunakan untuk menghasilkan barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut.
Teori absolute advantage Adam Smith yang sederhana menggunakan teori nilai tenaga kerja, dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya ada 2 negara, Amerika dan Inggris memiliki faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yakni gandum dan pakaian. Untuk menghasilkan 1 unit gandum dan pakaian Amerika membutuhkan 8 unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Di Inggris setiap unit gandum dan pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Banyaknya Tenaga Kerja yang Diperlukan untuk Menghasilkan per Unit
Produksi Amerika Inggris
Gandum 8 10
Pakaian 4 2

Dari tabel diatas nampak bahwa Amerika lebih efisien dalam memproduksi gandum sedang Inggris dalam produksi pakaian. 1 unit gandum diperlukan 10 unit tenaga kerja di Inggris sedang diAmerika hanya 8 unit. (10 > 8 ). 1 unit pakaian di Amerika memerlukan 4 unit tenaga kerja sedang di Inggris hanya 2 unit. Keadaan demikian ini dapat dikatakan bahwa Amerika memiliki absolute advantage pada produksi gandum dan Inggris memiliki absolute advantage pada produksi pakaian. Dikatakan absolute advantage karena masing-masing negara dapat menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari negara lain.
Kelebihan dari teori Absolute advantage yaitu terjadinya perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda, dimana terjadi interaksi ekspor dan impor hal ini meningkatkan kemakmuran negara. Kelemahannya yaitu apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan.
B. Comparative Advantage dari David Ricardo
1. Cost Comparative Advantage ( Labor efficiency )
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana Negara tersebut dapat berproduksi relative lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relative kurang/tidak efisien. Berdasarkan contoh hipotesis dibawah ini maka dapat dikatakan bahwa teori comparativeadvantage dari David Ricardo adalah cost comparative advantage.
Data Hipotesis Cost Comparative
Negara Produksi
1 Kg gula 1 m Kain
Indonesia 3 hari kerja 4 hari kerja
China 6 hari kerja 5 hari kerja

Indonesia memiliki keunggulan absolute disbanding Cina untuk kedua produk diatas, maka tetap dapat terjadi perdagangan internasional yang menguntungkan kedua Negara melalui spesialisasi jika Negara-negara tersebut memiliki cost comparative advantage atau labor efficiency.
Perhitungan Cost Comparative advantage
(labor efficiency)
Perbandingan cost 1 Kg gula 1 m kain

K

HK

Data poerhitungan Cost Comparative (Labor Efficiency)

HK = Hari Kerja

Berdasarkan perbandingan Cost Comparative advantage efficiency di atas, dapat dilihat bahwa tenaga kerja Indonesia lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Cina dalam produksi 1 Kg gula ( atau hari kerja ) daripada produksi 1 meter kain ( hari kerja) hal iniakan mendorong Indonesia melakukan spesialisasi produksi dan ekspor gula.
Sebaliknya tenaga kerja Cina ternyata lebih effisien dibandingkan tenaga kerja Indonesia dalam produksi 1 m kain ( hari kerja ) daripada produksi 1 Kg gula ( hari kerja) hal ini mendorong cina melakukan spesialisasi produksi dan ekspor kain.

2. Production Comperative Advantage ( Labor produktifiti)

Suatu Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang / tidak produktif
Walaupun Indonesia memiliki keunggulan absolut dibandingkan cina untuk kedua produk, sebetulnya perdagangan internasional akan tetap dapat terjadi dan menguntungkan keduanya melalui spesialisasi di masing-masing negara yang memiliki labor productivity.
kelemahan teori klasik Comparative Advantage tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antara 2 negara. Sedangkan kelebihannya adalah perdagangan internasional antara dua negara tetap dapat terjadi walaupun hanya 1 negarayang memiliki keunggulan absolut asalkan masing-masing dari negara tersebut memiliki perbedaan dalam cost Comparative Advantage atau production Comparative Advantage.

III. Teori Modern
A. The Proportional Factors Theory
Teori modern Heckescher-ohlin atau teori H-O menggunakan dua kurva pertama adalah kurva isocost yaitu kurva yang menggabarkan total biaya produksi yang sama. Dan kurva isoquant yaitu kurva yang menggabarkan total kuantitas produk yang sama. Menurut teori ekonomi mikro kurva isocost akan bersinggungan dengan kurva isoquant pada suatu titik optimal. Jadi dengan biaya tertentu akan diperoleh produk yang maksimal atau dengan biaya minimal akan diperoleh sejumlah produk tertentu.
Analisis teori H-O :
a. Harga atau biaya produksi suatu barang akan ditentukan oleh jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara
b. Comparative Advantage dari suatu jenis produk yang dimiliki masing-masing negara akan ditentukan oleh struktur dan proporsi faktor produksi yang dimilkinya.
c. Masing-masing negara akan cenderung melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif banyak dan murah untuk memproduksinya
d. Sebaliknya masing-masing negara akan mengimpor barang-barang tertentu karena negara tersebut memilki faktor produksi yang relatif sedikit dan mahal untuk memproduksinya
Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.
B. Paradoks leontief
Wassily Leontief seorang pelopor utama dalam analisis input-output matriks, melalui study empiris yang dilakukannya pada tahun 1953 menemukan fakta, fakta itu mengenai struktur perdagangan luar negri (ekspor dan impor). Amerika serikat tahun 1947 yang bertentangan dengan teori H-O sehingga disebut sebagai paradoks leontief .
Berdasarkan penelitian lebiih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama yaitu :
a. Intensitas faktor produksi yang berkebalikan
b. Tariff and Non tariff barrier
c. Pebedaan dalam skill dan human capital
d. Perbedaan dalam faktor sumberdaya alam
Kelebihan dari teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya jika suatu negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik maka ekspornya akan lebih sedikit.
C. Teori Opportunity Cost
Opportunity Cost digambarkan sebagai production possibility curve ( PPC ) yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara dengan sejumlah faktor produksi secara full employment. Dalam hal ini bentuk PPC akan tergantung pada asusmsi tentang Opportunity Cost yang digunakan yaitu PPC Constant cost dan PPC increasing cost.
D. Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD)
Teori Offer Curve ini diperkenalkan oleh dua ekonom inggris yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga.
Kelebihan dari offer curve yaitu masing-masing Negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga factor produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan comparative advantage dan pola perdagangan (trade pattern) suatu negara. Kualitas sumber daya manusia dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori modern yaitu teori Offer Curve.

teori comparativ and absolut advantage

Keunggulan komparatif
Dari Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk keuntungan absolut, melihat keuntungan absolut.

Dalam ilmu ekonomi, hukum keunggulan komparatif mengacu pada kemampuan pesta (individu, perusahaan, atau negara) untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan biaya kesempatan yang lebih rendah daripada pihak lain. Ini adalah kemampuan untuk menghasilkan produk yang paling efisien diberikan semua produk lain yang dapat dihasilkan [1] [2] Hal ini dapat dibandingkan dengan keuntungan absolut yang mengacu pada kemampuan partai untuk memproduksi suatu barang tertentu di. Yang lebih rendah mutlak murah dari yang lain.

Perbandingan keuntungan menjelaskan bagaimana perdagangan bisa menciptakan nilai bagi kedua belah pihak bahkan ketika seseorang dapat menghasilkan semua barang dengan sumber daya yang lebih sedikit dari yang lain. Keuntungan bersih hasil seperti disebut keuntungan dari perdagangan. Ini adalah konsep utama dari teori murni perdagangan internasional.
Isi
[Hide]

* 1 Asal teori
* 2 Contoh
o 2,1 Contoh 1
2,2 o Contoh 2
2,3 o Contoh 3
* 3 Pengaruh biaya perdagangan
* 4 Dampak terhadap perekonomian
* 5 Pertimbangan
o Pembangunan ekonomi 5,1
o 5,2 Gratis mobilitas modal dalam dunia global
* 6 Lihat pula
* 7 Catatan
* 8 Referensi
* 9 Pranala luar

[Sunting Asal] teori

Perbandingan keuntungan pertama kali dideskripsikan oleh Robert Torrens tahun 1815 dalam sebuah esai tentang Undang-undang Gandum. Dia menyimpulkan bahwa untuk keunggulan Inggris untuk perdagangan dengan Portugal sebagai imbalan untuk butir, meskipun mungkin untuk menghasilkan bahwa butir lebih murah di Inggris dari Portugal.

Namun, konsep ini biasanya dihubungkan dengan David Ricardo yang menjelaskan hal itu pada tahun 1817 bukunya On Prinsip Ekonomi Politik dan Perpajakan dalam contoh yang melibatkan Inggris dan Portugal. [3] Di Portugal adalah mungkin untuk menghasilkan baik anggur dan kain dengan tenaga kerja kurang daripada yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah yang sama di Inggris. Namun biaya relatif memproduksi dua barang yang berbeda di kedua negara. Di Inggris sangat sulit untuk menghasilkan anggur, dan hanya agak sulit untuk memproduksi kain. Di Portugal keduanya mudah untuk menghasilkan. Oleh karena itu ketika sedang murah untuk memproduksi kain di Portugal daripada Inggris, itu masih lebih murah untuk Portugal untuk menghasilkan anggur berlebihan, dan perdagangan yang untuk kain Inggris. Sebaliknya Inggris manfaat dari perdagangan ini karena biaya untuk memproduksi kain tidak berubah tetapi sekarang bisa mendapatkan anggur dengan harga yang lebih rendah, lebih dekat dengan biaya kain. Kesimpulan yang ditarik adalah bahwa setiap negara dapat memperoleh dengan mengkhususkan dalam kebaikan di mana ia memiliki keuntungan komparatif, dan perdagangan yang baik untuk yang lain.
[Sunting Contoh]

Contoh-contoh hipotesis berikut ini menjelaskan alasan di balik teori. Dalam Contoh 2 semua asumsi yang dicetak miring untuk referensi mudah, dan ada pula yang dijelaskan pada akhir contoh.
[Sunting] Contoh 1

Dua orang tinggal sendirian di sebuah pulau terpencil. Untuk bertahan hidup mereka harus melakukan beberapa kegiatan ekonomi dasar seperti membawa air, memancing, memasak dan konstruksi tempat penampungan dan pemeliharaan. Orang pertama adalah muda, kuat, dan berpendidikan. Ia juga, lebih cepat, lebih baik, lebih produktif dalam segala hal. Dia memiliki keunggulan absolut dalam semua kegiatan. Orang kedua sudah tua, lemah, dan tidak berpendidikan. Dia memiliki kelemahan mutlak dalam semua kegiatan ekonomi. Dalam beberapa kegiatan perbedaan antara keduanya adalah besar; pada orang lain itu kecil.

Terlepas dari kenyataan bahwa pria yang lebih muda memiliki keunggulan mutlak dalam semua kegiatan, tidak dalam kepentingan salah satu dari mereka untuk bekerja secara terpisah sejak mereka berdua bisa mendapatkan keuntungan dari spesialisasi dan pertukaran. Jika kedua orang membagi pekerjaan sesuai dengan keunggulan komparatif maka orang muda akan mengkhususkan diri dalam tugas-tugas di mana ia paling produktif, sementara laki-laki yang lebih tua akan berkonsentrasi pada tugas-tugas di mana produktivitasnya hanya sedikit lebih kecil dari orang muda. Pengaturan semacam itu akan meningkatkan total produksi dengan jumlah tertentu tenaga kerja yang ditawarkan oleh kedua laki-laki dan itu akan menguntungkan mereka berdua.
[Sunting] Contoh 2

Misalkan ada dua negara dengan ukuran yang sama, Northland dan Southland, bahwa baik memproduksi dan mengkonsumsi dua barang, makanan dan pakaian. Kapasitas produktif dan efisiensi dari negara-negara yang sedemikian sehingga jika kedua negara mengabdikan semua sumber daya mereka untuk produksi pangan, output akan sebagai berikut:

* Northland: 100 ton
* Southland: 400 ton

Jika semua sumber daya negara yang dialokasikan untuk produksi pakaian, output akan menjadi:

* Northland: 100 ton
* Southland: 200 ton

Dengan asumsi biaya masing-masing memiliki kesempatan yang konstan produksi antara kedua produk tersebut dan kedua negara memiliki pekerjaan penuh setiap kali. Semua faktor-faktor produksi yang bergerak di antara negara-negara industri pakaian dan makanan, tetapi tak bergerak di antara negara-negara. Mekanisme harga harus bekerja untuk menyediakan persaingan sempurna.

Southland memiliki keunggulan mutlak atas Northland dalam produksi makanan dan pakaian. Tampaknya tidak ada saling menguntungkan dalam perdagangan antara ekonomi, sebagai Southland lebih efisien dalam memproduksi kedua produk. Biaya kesempatan menunjukkan sebaliknya. biaya kesempatan Northland's memproduksi satu ton makanan adalah satu ton pakaian dan sebaliknya. Southland biaya kesempatan dari salah satu ton makanan adalah 0,5 ton pakaian. Biaya kesempatan dari satu ton pakaian adalah 2 ton makanan. Southland memiliki keunggulan komparatif dalam produksi pangan, karena biaya peluang yang lebih rendah produksi sehubungan dengan Northland. Northland memiliki keunggulan komparatif di Southland dalam produksi pakaian, biaya kesempatan yang lebih tinggi di Southland berkaitan dengan makanan daripada di Northland.

Untuk menunjukkan biaya kesempatan yang berbeda menyebabkan keuntungan bersama jika negara-negara spesialisasi produksi dan perdagangan, mempertimbangkan negara memproduksi dan mengkonsumsi hanya di dalam negeri. Volume adalah:
Produksi dan konsumsi sebelum perdagangan Pakaian Makanan Negara
Northland 50 50
Southland 200 100
TOTAL 250 150

contoh ini tidak mencakup perumusan preferensi konsumen di kedua negara yang akan memungkinkan penentuan nilai tukar internasional pakaian dan makanan. Mengingat kemampuan produksi masing-masing negara, dalam rangka untuk perdagangan yang akan bermanfaat Northland membutuhkan harga setidaknya satu ton makanan dalam pertukaran untuk satu ton pakaian, dan Southland membutuhkan setidaknya satu ton pakaian untuk dua ton makanan. Harga tukar akan berada di antara keduanya. Sisa dari contoh karya dengan harga perdagangan internasional dari satu ton makanan untuk 2 / 3 ton pakaian.

Jika kedua spesialisasi di barang di mana mereka memiliki keuntungan komparatif, output mereka akan:
Produksi setelah perdagangan Pakaian Makanan Negara
Northland 0 100
Southland 300 50
TOTAL 300 150

Dunia produksi makanan meningkat. pakaian produksi tetap sama. Dengan menggunakan nilai tukar satu ton makanan untuk 2 / 3 ton pakaian, Northland dan Southland dapat perdagangan untuk menghasilkan tingkat konsumsi berikut:
Konsumsi Makanan Negara setelah perdagangan Pakaian
Northland 75 50
Southland 225 100
Dunia 300 total 150

Northland diperdagangkan 50 ton 75 ton pakaian untuk makanan. Kedua manfaat, dan sekarang mengkonsumsi pada titik-titik di luar batas-batas kemungkinan mereka produksi.

Asumsi dalam Contoh 2:

* Dua negara, dua barang - teori tersebut tidak berbeda untuk sejumlah besar negara dan barang, tetapi prinsip-prinsip yang jelas dan argumen yang lebih mudah diikuti dalam hal ini sederhana.
ekonomi ukuran * Equal - lagi, ini adalah penyederhanaan untuk menghasilkan contoh yang lebih jelas.
* Penuh kerja - jika salah satu dari ekonomi yang kurang dari pekerjaan penuh faktor-faktor produksi, maka kelebihan kapasitas biasanya harus digunakan sebelum alasan keunggulan komparatif dapat diterapkan.
biaya kesempatan * Constant - perawatan yang lebih realistis dari biaya kesempatan alasannya secara luas yang sama, tetapi spesialisasi produksi hanya dapat dibawa ke titik di mana kesempatan biaya di kedua negara menjadi sama. Ini tidak membatalkan prinsip-prinsip keunggulan komparatif, tetapi tidak membatasi besarnya manfaat.
* Sempurna mobilitas faktor produksi dalam negara - ini diperlukan untuk memungkinkan produksi harus diaktifkan tanpa biaya. Dalam perekonomian riil biaya ini akan terjadi: modal akan diikat di pabrik (mesin jahit tidak menabur mesin) dan tenaga kerja perlu dilatih kembali dan dipindahkan. Inilah sebabnya mengapa kadang-kadang berpendapat bahwa industri baru lahir 'harus dilindungi dari liberalisasi perdagangan internasional secara penuh selama periode dimana biaya tinggi masuk ke pasar (peralatan modal, pelatihan) sedang dibayar.
* Imobilitas faktor produksi antar negara - mengapa ada harga yang berbeda dari produktivitas? Versi modern dari keunggulan komparatif (dikembangkan pada awal abad kedua puluh oleh para ekonom Swedia Eli Heckscgher dan Bertil Ohlin) atribut perbedaan-perbedaan untuk perbedaan dalam faktor pendukung bangsa '. Sebuah bangsa akan memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi yang baik yang intensif menggunakan faktor itu menghasilkan berlimpah. Sebagai contoh: misalkan Amerika Serikat memiliki kelimpahan relatif dari modal dan India memiliki kelimpahan relatif dari tenaga kerja. Misalkan lebih lanjut bahwa mobil adalah modal intensif untuk memproduksi, sementara kain yang padat karya. Maka AS akan memiliki keunggulan komparatif dalam pembuatan mobil, dan India akan memiliki keunggulan komparatif dalam pembuatan kain. Jika ada faktor mobilitas internasional ini dapat mengubah kelimpahan relatif faktor bangsa '. Prinsip keunggulan komparatif masih berlaku, namun yang memiliki keuntungan dalam apa yang dapat berubah.
* Biaya transportasi diabaikan - Biaya tidak menjadi masalah ketika negara-negara memutuskan untuk perdagangan. Hal ini diabaikan dan bukan karena faktor masuk
* Sebelum spesialisasi, setengah dari sumber daya yang tersedia masing-masing negara digunakan untuk memproduksi setiap barang.
* Pasar persaingan sempurna - ini adalah asumsi standar yang memungkinkan efisien sempurna alokasi sumber daya produktif di pasar bebas ideal.

[Sunting] Contoh 3

Ekonom Paul Samuelson disediakan contoh lain yang terkenal dalam bukunya Ekonomi. Misalkan pada suatu kota tertentu pengacara terbaik terjadi juga untuk menjadi sekretaris yang terbaik, yaitu dia akan menjadi pengacara paling produktif dan dia juga akan menjadi sekretaris terbaik di kota. Namun, jika pengacara ini terfokus pada tugas sebagai pengacara dan, bukannya mengejar kedua pekerjaan sekaligus, mempekerjakan sekretaris, baik output dari pengacara dan sekretaris akan meningkat, karena lebih sulit untuk menjadi seorang pengacara dari sekretaris. [rujukan?]
[Sunting] Pengaruh biaya perdagangan

Perdagangan biaya, khususnya transportasi, mengurangi dan dapat menghilangkan manfaat dari perdagangan, termasuk keunggulan komparatif. Paul Krugman memberikan contoh berikut. [4]

Menggunakan contoh klasik Ricardo's:
biaya tenaga kerja Unit Kain Anggur
Britania 100 110
Portugal 90 80

Dengan tidak adanya biaya transportasi, adalah efisien untuk Britania untuk memproduksi kain, dan Portugal untuk menghasilkan anggur, sebagai, dengan asumsi bahwa perdagangan dengan harga yang sama (1 unit kain untuk 1 unit anggur) Britania kemudian dapat memperoleh anggur dengan biaya dari 100 unit kerja dengan memproduksi kain dan perdagangan, bukan dari 110 unit dengan memproduksi anggur itu sendiri, dan Portugal dapat memperoleh kain dengan biaya dari 80 unit dengan perdagangan lebih dari 90 oleh produksi.

Namun, di hadapan biaya perdagangan dari 15 unit tenaga kerja untuk mengimpor (baik alternatif campuran dari biaya tenaga kerja ekspor impor dan biaya tenaga kerja, seperti 5 unit untuk ekspor dan 10 unit untuk impor), kemudian biaya Britain 115 unit tenaga kerja untuk mendapatkan anggur oleh perdagangan - 100 unit untuk memproduksi kain itu, 15 unit untuk mengimpor anggur, yang lebih mahal dari memproduksi anggur lokal, dan juga untuk Portugal. Jadi, jika biaya perdagangan melebihi keuntungan produksi, itu tidak menguntungkan untuk perdagangan.

Krugman hasil berdebat lebih spekulasi bahwa perubahan biaya perdagangan (khususnya transportasi) relatif terhadap biaya produksi bisa menjadi faktor penyebab perubahan dalam pola perdagangan global: jika perdagangan biaya penurunan, seperti pada munculnya pengiriman bertenaga uap , perdagangan harus diperkirakan meningkat, karena lebih unggul dalam produksi dapat direalisasikan. Sebaliknya, jika perdagangan biaya meningkat, atau jika biaya produksi lebih cepat daripada penurunan biaya perdagangan (seperti melalui elektrifikasi pabrik), maka perdagangan harus diharapkan penurunan, sebagai biaya perdagangan menjadi penghalang lebih signifikan.
[Sunting] Dampak terhadap perekonomian

Kondisi yang memaksimalkan keunggulan komparatif tidak secara otomatis mengatasi defisit perdagangan. Bahkan, dalam banyak contoh-contoh dunia nyata di mana keunggulan komparatif dicapai mungkin sebenarnya memerlukan defisit perdagangan. Misalnya, jumlah barang yang dihasilkan dapat dimaksimalkan, namun mungkin melibatkan transfer bersih kekayaan dari satu negara ke negara lainnya, sering kali karena pelaku ekonomi memiliki tingkat yang sangat berbeda dari tabungan.

Sebagai perubahan pasar dari waktu ke waktu, rasio barang yang diproduksi oleh satu negara terhadap berbagai perubahan lain sambil mempertahankan keunggulan keunggulan komparatif. Hal ini dapat menyebabkan mata uang nasional untuk mengumpulkan menjadi deposito bank di negara asing di mana mata uang yang terpisah digunakan.

Makroekonomi kebijakan moneter sering diadaptasi untuk mengatasi penurunan mata uang suatu negara dari tangan dalam negeri dengan penerbitan lebih banyak uang, yang mengarah ke berbagai historis keberhasilan dan kegagalan.
[Sunting] Pertimbangan
[Sunting] Ekonomi Pembangunan

Teori keunggulan komparatif, dan konsekuensi bahwa negara harus spesialisasi, dikritik atas dasar pragmatis dalam teori industrialisasi substitusi impor pembangunan ekonomi, atas dasar empiris oleh Singer-Prebisch tesis yang menyatakan bahwa kondisi perdagangan antara produsen utama dan diproduksi barang memburuk dari waktu ke waktu, dan atas dasar teoritis industri bayi dan ekonomi Keynesian. Dalam istilah ekonomi yang lebih tua, keunggulan komparatif telah ditentang oleh merkantilisme dan nasionalisme ekonomi. Ini berpendapat bahwa meskipun bukan sebuah negara awalnya mungkin relatif kurang beruntung dalam suatu industri tertentu (seperti mobil Jepang pada 1950-an), tempat tinggal dan negara harus berinvestasi dalam industri sampai mereka menjadi berdaya saing global. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa keunggulan komparatif, seperti yang dinyatakan, adalah teori statis - tidak menjelaskan kemungkinan perubahan keuntungan melalui investasi atau pengembangan ekonomi, dan dengan demikian tidak memberikan pedoman untuk pengembangan ekonomi jangka panjang.
[Sunting] Bebas mobilitas modal dalam dunia global

Ricardo secara eksplisit dasar argumennya pada diasumsikan imobilitas modal:

"... Jika modal bebas mengalir ke negara-negara mana yang paling menguntungkan bisa diterapkan, tidak akan ada perbedaan tingkat keuntungan, dan tidak ada perbedaan lain dalam harga yang sebenarnya atau tenaga kerja dari komoditas, dari jumlah tambahan tenaga kerja untuk menyampaikan mereka ke berbagai pasar di mana mereka untuk dijual. "[5]

Dia menjelaskan mengapa dari sudut pandang (Anno 1817) ini adalah asumsi yang masuk akal: "Pengalaman, bagaimanapun, menunjukkan, bahwa ketidakamanan naksir atau modal riil, jika tidak di bawah kendali langsung dari pemiliknya, bersama-sama dengan keengganan alam yang setiap orang harus keluar dari negara kelahirannya dan Connexions, dan mempercayakan dirinya dengan semua kebiasaan itu tetap, kepada pemerintah asing dan undang-undang baru, memeriksa emigrasi modal. "[5]

Beberapa ulama, terutama Herman Daly, ekonom ekologis Amerika dan profesor di School of Public Policy dari University of Maryland, telah menyuarakan keprihatinan atas penerapan teori Ricardo keunggulan komparatif dalam cahaya meningkatkan persepsi dalam mobilitas modal: "Internasional perdagangan (diatur oleh keunggulan komparatif) menjadi, dengan diperkenalkannya mobilitas modal bebas, perdagangan antar (diatur oleh keunggulan Mutlak) "[. 6]

Adam Smith mengembangkan prinsip keuntungan absolut. Ekonom Paul Craig Roberts mencatat bahwa prinsip-prinsip keunggulan komparatif yang dikembangkan oleh David Ricardo tidak memiliki mana faktor-faktor produksi secara internasional mobile [7] [8] Pembatasan teori tersebut. Mungkin ada jika ada satu jenis utilitas. Fakta bahwa orang ingin makanan dan tempat tinggal sudah menunjukkan bahwa beberapa utilitas yang hadir dalam keinginan manusia. Begitu model mengembang dari satu baik untuk beberapa barang, yang mutlak bisa berpaling kepada keunggulan komparatif. Biaya kesempatan dari basis pajak yang hilang mungkin lebih besar keuntungan keuntungan yang dirasakan, terutama di mana mata uang buatan pasak dan manipulasi hadir untuk mendistorsi perdagangan. [9]. arbitrasi tenaga kerja global, di mana negara mengeksploitasi buruh murah salah satu dari yang lain, akan menjadi kasus keunggulan absolut yang tidak saling menguntungkan. [10] [11] [12]

Ekonom Ha-Joon Chang mengkritik bahwa prinsip keunggulan komparatif mungkin telah membantu negara-negara maju mempertahankan advancedness relatif teknologi dan industri di negara-negara berkembang. Dalam bukunya Away Menendang Tangga, Chang berpendapat bahwa semua negara-negara maju utama, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, digunakan intervensionis, kebijakan ekonomi yang proteksionis untuk menjadi kaya dan kemudian mencoba untuk melarang negara-negara lain dari melakukan hal yang sama. Misalnya, menurut prinsip keunggulan komparatif, negara-negara berkembang dengan keunggulan komparatif di bidang pertanian harus terus spesialisasi di bidang pertanian dan impor widgits teknologi tinggi dari negara-negara maju dengan keunggulan komparatif di bidang teknologi tinggi. Dalam jangka panjang, negara-negara berkembang akan tertinggal di belakang negara-negara maju, dan polarisasi kekayaan akan diatur masuk Chang menegaskan bahwa perdagangan bebas prematur telah menjadi salah satu kendala mendasar untuk pengentasan kemiskinan di negara berkembang banyak. Baru saja, negara-negara Asia seperti Korea Selatan, Jepang dan China telah dimanfaatkan kebijakan ekonomi proteksionis dalam pembangunan ekonomi mereka. [13]

Senin, 12 April 2010

MUTIARA CINTA

Setetes kebencian di dalam hati
Pasti akan membuahkan penderitaan
Tapi setetes cinta di dalam relung hati
akan membuahkan kebahagiaan sejati

Kalahkan Kemarahan dengan Cinta Kasih
Kalahkan Kejahatan dengan Kebajikan
Kalahkan kekikiran dengan Kemurahan Hati
Kalahkan Kesombongan dengan Kejujuran

Nafsu hanya akan memberikan kebahagiaan sesaat
tapi cinta yang tulus dan sejati akan memberikan
kebahagiaan selamanya

Jika kita mencintai seseorang
Berusahalan untuk tampil apa adanya
karena Cinta sejati selalu dapat
Menerima Kelebihan dan Kekurangan

Bahagialah bagi orang yang mengerti akan arti cinta,
Karena Cinta itu akan memberikan warna bagi kehidupannya

Cinta yang teramat besar kadang dapat membuat kita
tak bisa mencintai lagi

Luruhnya hati bukanlah suatu dosa, Maka Jangan Pernah
Takut untuk Jatuh Cinta

Cinta Tak Harus Saling Memiliki
Kadang Kala Mereka Harus Melepaskan Cinta Tersebut
Karena Cinta yang Sejati Selalu Ingin Membahagiakan
Orang Yang dicintai

Cinta itu seperti art yg indah dan agung,
berbahagialah yg pernah mendapatkannya meskipun tidak abadi

Cinta tidak membuat dunia berputar
Cinta inilah yang membuat perjalanan tersebut berharga

Cinta tidak berupa tatapan satu sama lain,
tetapi memandang ke luar bersama ke arah yang sama.

Bel bukanlah bel sebelum engkau membunyikannya
Lagu bukanlah lagu sebelum engkau menyanyikannya
Cinta di dalam hatimu tidak diletakkan untuk tinggal di sana

Cinta bukanlah cinta sebelum engkau memberikannya
Nafsu adalah emosi
Cinta adalah pilihan
Cara untuk mencintai sesuatu adalah dengan menyadari
Bahwa sesuatu itu mungkin hilang

Cinta adalah kunci induk yang membuka Gerbang kebahagiaan
Kekasih yang bijaksana tidak menghargai hadiah dari kekasihnya
Sebesar cinta dari si pemberi

Jika anda ingin dicinta, mencintalah
dan jadilah orang yang pantas dicinta


Di antara mereka yang saya sukai atau kagumi,
saya tidak dapat menemukan suatu kesamaan
Tetapi di antara mereka yang saya kasihi,
saya dapat menemukannya: mereka semua membuat saya tertawa

Persahabatan sering berakhir dengan cinta
Tetapi cinta kadang berakhir BUKAN dengan persahabatan

Kita harus sedikit menyerupai satu sama lain
untuk mengerti satu sama lain
Tetapi kita harus sedikit berbeda
Untuk mencintai satu sama lain

Cinta yang belum matang berkata:
"Aku cinta kamu karena aku butuh kamu"
Cinta yang sudah matang berkata:
"Aku butuh kamu karena aku cinta kamu"

Cinta memasukkan kesenangan dalam kebersamaan
kesedihan dalam perpisahan harapan pada hari esok kegembiraan di dalam hati

Siapa pun yang mempunyai hati penuh cinta selalu mempunyai sesuatu untuk diberikan
Cinta sejati dimulai ketika tidak sesuatu pun diharapkan sebagai balasan

Segera sesudah kita belajar mencinta
Kita akan belajar untuk hidup

Cinta...
Jika anda memilikinya, anda tidak memerlukan sesuatu pun yang lain
Dan jika anda tidak memilikinya,apa pun yang lain yang anda miliki tidak banyak berarti

Cinta tidak dapat dipaksakan
Cinta tidak dapat dibujuk dan digoda
Cinta muncul dari Surga tanpa topeng dan tanpa dicari

Cobalah bernalar tentang cinta dan engkau pun
akan kehilangan nalarmu

Senin, 05 April 2010

EKONOMI ISLAM
PENERAPAN AJARAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
PENDAHULUAN

Sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analis ajaran agama Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme(1917).

Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi.

The church did influence people s attitudes toward the economy but mostly in a negative manner because the economic mentality it furthered was essentially traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually encouraged a non-capitalistic and partly anti-capitalistic (mentality).1)

1) Swedberg, Richard, Max Weber and The Idea of Economic Sociology. Prienceton UP, 1998, up at 112

Dalam ekonomi Islam juga etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya . Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya.

ETIKA DAN PERILAKU EKONOMI

Etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu :

1. Kesatuan (unity)

2. Keseimbangan (equilibrium)

3. Kebebasan (free will)

4 .Tanggungjawab (responsibility)

Manusia sebagai wakil (kalifah)Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi.

SISTEM EKONOMI ISLAM

Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Kecelakaanlah bagi setiap yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu (59:7).

Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada integrasi vertikal antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h80)

Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.

State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man s ethical and economic behaviors cannot lead the society onto road to serfdom but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,1951.h81)

ETIKA BISNIS

Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.

Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda.2)

2) Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211

EKONOMI PANCASILA

Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.

Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.

PENUTUP

Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional.

Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tertapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat (An Nahl, 16:112).

Dapatkah kiranya perumpamaan ini tidak dianggap sekedar perumpamaan? Jika tidak, firman Allah lain perlu dicamkan benar-benar.

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Al Israa, 17:16)



Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika
eramuslim - Sistem ekonomi berbasis Syariah, belakangan ini makin populer bukan hanya di negara-negara Islam tapi juga negara-negara barat. Ditandai dengan makin suburnya bank-bank yang menerapkan konsep syari'ah, bukan tidak mungkin suatu saat seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam perekonomian bisa diterima di berbagai kalangan, karena sifatnya yang universal dan tidak eksklusif. Nilai-nilai itu misalnya keadilan dan perlakuan yang sama dalam meraih kesempatan berusaha.



Konsep ekonomi yang Islami sebenarnya sudah ada sejak lama, bahkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW yang menerapkan etika dalam berdagang. Perkembangan sistem ekonomi Islami ini terhenti seiring dengan makin menguatnya kelompok sosialis dan kapitalis di Eropa. Namun seiring perjalanan waktu dan runtuhnya komunis, pemikiran untuk menerapkan sistem perekonomian yang Islami muncul kembali sebagai konsep alternatif. Dan terbukti, konsep ekonomi Islam yang mengedepankan kejujuran dan keadilan ini bisa diterima, dan kini sedang mengalami perkembangan yang pesat.



Di Indonesia konsep ekonomi syariah mulai dikenal ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, pada tahun 1991. Namun pada saat itu, kehadiran bank berbasis syariah ini belum mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat. Baru beberapa tahun belakangan ini, apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank, bank berbasis Syariah mulai bermunculan, diikuti dengan munculnya lembaga keuangan berbasis syariah lainnya, seperti asuransi syariah yang memang belum menjamur seperti bank syariah.



Meski sudah mengalami perkembangan yang cukup baik, namun kalangan pelaku ekonomi syariah merasa konsep ini belum mendapat dukungan penuh pemerintah. Perekonomian Syariah, masih dianggap sebelah mata sebagai salah satu sistem perekonomian yang seharusnya bisa menjadi salah satu alternatif untuk keluar dari krisis ekonomi yang masih melilit bangsa ini. Lantas bagaimana prospek ekonomi syariah di Indonesia di masa depan?



Harus Ada Wakil Ekonomi Syariah di Dewan Ekonomi Nasional

Bersamaan dengan dikeluarkannya fatwa haram terhadap bungan bank, MUI mengkampanyekan gerakan ekonomi syariah tahun 2003 lalu. Namun gerakan ini ternyata kurang berhasil, sehingga sosialisasi ekonomi syariah ke masyarakat hasilnya juga tidak maksimal. Salah satu penyebabnya, karena pemerintahan pada waktu itu kurang mengakomodasi gerakan itu.



Namun untuk tahun ini, dengan munculnya kepemimpinan baru, ada seberkas harapan dari para pelaku ekonomi syariah khususnya bank-bank syariah untuk kembali mengedepankan sosialisiasi ekonomi syariah yang lebih luas kepada masyarakat. Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo) menilai pemerintah sudah saatnya mengakomodasi praktek keuangan Islami yang kini mulai marak di Indonesia. Untuk itu, mereka meminta agar ada perwakilan dari ekonomi syariah dalam struktur Dewan Ekonomi Nasional yang akan dibentuk pemerintah baru nanti.



Ketua Asbisindo, Wahyu Dwi Agung pada eramuslim mengatakan, dengan adanya wakil ekonomi Syariah di Dewan Ekonomi Nasional (DEN) nantinya, sosialisasi tentang ekonomi Syariah baik di kalangan masyarakat maupun di birokrasi pemerintahan akan lebih intensif dilakukan, sehingga pemahaman masyarakat tentang ekonomi syariah lebih baik.



"Jangankan masyarakat awam, para ulamanya saja masih banyak koq yang belum memahami konsep ekonomi syariah," ujar Wahyu. Jadi jangan heran, meski Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, masyarakatnya masih enggan untuk menjadi nasabah bank syariah. "Kalau dibandingkan dengan bank konvensional, portofolio masyarakat untuk bank syariah masih 1 persen," tambah Wahyu.


Namun dengan pertumbuhan bank syariah yang rata-rata di atas 70 persen, Wahyu optimis ada peluang besar bagi bank syariah untuk lebih banyak menarik minat masyarakat. Selama ini yang kurang mengemuka di masyarakat tentang konsep syariah adalah bahwa konsep ekonomi syariah sangat menjunjung tinggi tranparansi, kejujuran dan keadilan dalam melakukan dan membuka kesempatan berusaha bagi masyarakat. Sebagian besar masyarakat hanya tahu konsep Syariah sebatas pada diharamkannya bunga bank.



Di sisi lain, perkembangan ekonomi syariah membutuhkan instrumen-instrumen keuangan syariah yang memadai. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah, Rizqullah pada eramuslim. Ia menyatakan, pemerintah saat ini masih mengandalkan sistem ekonomi barat yang kapitalis meskipun terbukti memiliki kelemahan-kelemahan.



"Keluarnya Undang-Undang Perbankan No.10/1998 mengindikasikan bahwa pemerintah mengakui kelemahan yang ada dalam sistem ekonomi kapitalis. Makanya, pemerintah berusaha mencari solusi untuk mengatasi itu. Cuma sayangnya, solusi itu tidak dibarengi dengan upaya-upaya lanjutan untuk mendorong perkembangan lembaga keuangan syariah dan tatanan-tatanan ekonomi yang Islami," kata Rizqullah.



Lebih lanjut, ketua Asbisindo, Wahyu Dwi Agung mengatakan, adanya wakil ekonomi Syariah di DEN, diharapkan juga bisa mendorong penerapan konsep syariah dalam semua bentuk aktifitas perekonomian, bukan hanya perbankan, tapi juga perdagangan atau penerbitan obligasi yang sampai saat ini masih memakai sistem bunga.



"Intinya kalau sudah ada dukungan penuh dari pemerintah, dengan penerapan konsep syariah ini nantinya akan ada keberpihakan yang lebih besar pada masyarakat. Membangun ekonomi rakyat itu kan membangun ekonomi lokal. Nah, bank-bank lokal ini kita harapkan juga ada syariahnya. Kemudian pemerintah kalau membuat order atau kontrak, bisa saja mewajibkan 30 persen pembiayaannya dari lembaga keuangan syariah," papar Wahyu.


Konsep Ekonomi Syariah di Indonesia Sebuah Keharusan

Ketua Asbisindo, Wahyu Dwi Agung mengatakan, konsep ekonomi syariah di Indonesia bukan lagi semata-mata sebagai alternatif sistem perekonomian di masa depan tetapi sudah menjadi keharusan. Karena hubungannya bukan pada Islam semata, tapi Islam sebagai rahmat lil 'alaamin yang kaitannya adalah ibadah secara vertikal maupun horisontal.



"Sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, sistem ekonomi syariah harus dilaksanakan sebagai sistem ekonomi yang universal, yang mengedepankan transparansi, keadilan dan good governance dalam pengelolaan usaha dan asset-asset negara. Di mana praktik ekonomi yang dijalankan berpihak pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada kebenaran," tegas Wahyu.



Konsep syariah yang diterapkan di bank-bank sudah membuktikan, bagaimana penyaluran pembiayaan di bank syariah selalu berpihak pada sektor riil, dengan angka finance to deposit ratio yang relatif tinggi. Kehadiran bank syariah terbukti bisa diarahkan untuk mendorong tumbuhnya sektor riil, usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi primadona dan tulang punggung di masa krisis.



Berdasarkan data Asbisindo, total aset bank syariah saat ini sekitar Rp 12,7 triliun dengan penghimpunan dana pihak ketiga Rp 9,7 triliun dan penyaluran pada pembiayaan Rp 9,9 triliun. Dari angka tersebut, menunjukkan financing to deposit ratio (FDR, rasio pembiayaan dan dana pihak ketiga) perbankan syariah rata-rata di atas 100 persen. Dari sisi jaringan, saat ini terdapat tiga bank umum syariah dan 12 unit usaha syariah dengan jumlah kantor cabang 131, 35 kantor cabang pembantu dan 119 kantor kas. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah BPRS yang berjumlah 86.



Perbankan syariah hanya salah satu dari sistem perekonomian Islam. Kalau konsep ekonomi syariah ini akan diterapkan, juga harus diperhatikan peranan lembaga keuangan Islami lainnya seperti peranan zakat, serta peranan lembaga dan dunia usaha Islami yang menjalankan kegiatan usahanya dengan berlandaskan etika dan moral. Contohnya, tidak ada mark-up, tidak ada laporan keuangan ganda dan sejenisnya.



Lembaga keuangan dan perbankan syariah juga tidak sekadar menjadi lembaga yang baik seperti yang dikenal sekarang ini, tapi juga harus bisa berperan sebagai penghubung antara pihak-pihak yang kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dana. Sehingga intermediasi juga terwujud dalam sistem perekonomian Islam.

Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah Rizqullah menyatakan, potensi ekonomi berbasis syariah di Indonesia cukup besar, tapi semuanya tergantung pada kesungguhan semua pihak yang terkait dan para stakeholders yang menentukan perkembangan ekonomi syariah.



"Dukungan yang paling mendesak untuk saat ini adalah dukungan politis, political will dari pemerintah bahwa mereka sungguh-sungguh mau mendorong perekonomian yang Islami. Ini harus dimanifestasikan dengan program-program ekonomi dan kebijakan ekonomi pemerintah saat ini. Negara Malaysia bisa, kenapa kita enggak bisa, padahal potensi kita lebih besar daripada Malaysia," tambah Rizqullah. (ln)



Sumber : www.eramuslim.com