wisata
Pendahuluan
Selama dua dekade terakhir ini pembangunan pariwisata di Indonesia telah mendapat perhatian yang cukup besar dan serius dari pemerintah[3]. Kebijakan pemerintah untuk memberi kemudahan bagi masuknya wisatawan asing dan membangun sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pariwisata juga telah mendorong pihak swasta untuk menanamkan modalnya di bidang perhotelan, restoran, biro perjalanan dan sebagainya. Berbagai potensi alam dan budaya dikemas sedemikian rupa hingga memiliki daya tarik dan layak jual kepada wisatawan domestik dan asing. Berbagai event kebudayaan yang menarik dimasukkan dalam kalender kegiatan pariwisata. Salah satu tonggaknya adalah dengan dilaksanakannya program Visit Indonesia Year pada tahun 1991. Sejak saat itu sampai tahun 2001, arus kunjungan wisatawan asing ke Indonesia dan pendapatan yang dihasilkannya cenderung terus meningkat.
Digalakkannya pembangunan pariwisata di tanah air, setidaknya dapat dihubungkan dengan tiga hal. Pertama, munculnya pemahaman dan kesadaran bahwa Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan pendapatannya kepada sektor migas. Oleh karena itu, sektor lain yang dilihat potensial dapat diandalkan untuk mendatangkan devisa secara berkelanjutan (sustainable) adalah pariwisata.[4] Harapan terhadapnya mengalirnya pemasukan devisa dari sektor pariwisata tidak hanya dari negara berkembang seperti Indonesia saja. Bahkan negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Italia, Jerman dan Inggeris juga mendapatkan pendapatan yang signifikan dari kegiatan pariwisatanya. Hal ini dapat dipahami karena banyak orang-orang kaya dari seluruh dunia yang senang berkunjung dan berbelanja ke negara-negara tersebut.
Kedua, pariwisata dilihat sebagai sektor yang berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja dan peluang untuk meningkatkan pendapatan dan standar hidup masyarakat. Nasikun (1991) misalnya, menunjukkan tiga tingkat dampak peluang kerja pembangunan pariwisata: (1) dampak langsung peluang kerja di dalam jenis-jenis usaha yang secara langsung menjual barang-barang dan jasa-jasa kepada wisatawan, seperti hotel, restoran, transport, dan toko-toko cendera mata, (2) dampak tidak langsung peluang kerja yang dipengaruhi oleh pengeluaran wisatawan di dalam kegiatan-kegiatan pengolahan dan distribusi yang menjual barang-barang dan jasa-jasa untuk usaha pariwisata, dan (3) peluang kerja di sektor konstruksi dan industri barang-barang modal yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata.
Merujuk kepada studi yang dilakukan de Kadt (1979) dan Smaoui (1979), Nasikun menunjukkan bahwa untuk setiap 1 (satu) tenaga kerja yang diciptakan di sektor perhotelan, sekitar 0,75 tenaga kerja ditambahkan di sektor pertanian, 1,5 tenaga kerja di sektor produksi dan penjualan barang-barang kerajinan, dan 1,1 tenaga kerja di kegiatan-kegiatan pengolahan dan distribusi yang melayani kebutuhan hotel-hotel, transportasi dan sejenisnya. Selanjutnya, di sektor konstruksi dan industri barang-barang modal, pembangunan pariwisata memberikan dampak penciptaan peluang kerja yang tidak sedikit pula. Diperkirakan bahwa untuk setiap 1 tempat tidur hotel baru yang dibangun, diperlukan sekitar 2,7 orang tenaga kerja di sektor konstruksi dan industri barang-barang modal yang melayani pariwisata.
Ketiga, mengenalkan keragaman etnik dan aneka kekayaan budayanya. Melalui kegiatan pariwisata etnik dan budaya dikenalkan sekaligus dilestarikan kekayaan tradisi suku-suku bangsa yang ada di Indonesia dan berbagai pola kehidupannya yang khas, berbagai bentuk kesenian dan kerajinan tangannya yang unik dan indah. Wisatawan akan dapat menyaksikan upacara batagak panghulu di Minangkabau, pemakaman di Tana Toraja, karapan sapi di Madura, dan sebagainya. Lebih dari itu, Sunyoto Usman (2004:53) melihat bahwa kegiatan pariwisata juga merupakan wadah interaksi kultural atau pun ajang akulturasi budaya berbagai macam etnik dan bangsa. Melalui pariwisata, kebudayaan masyarakat tradisional agraris sedemikian rupa bertemu dan berpadu dengan kebudayaan masyarakat modern industrial dan tidak jarang kemudian menciptakan produk-produk budaya baru. Bahkan dalam konteks globalisasi, pariwisata memungkinkan bertambahnya pengaruh global terhadap kultur lokal. Sekaligus juga terjadinya percampuran kultural yang dalam istilah Robertson berupa glocalization, di mana dunia global berinteraksi dengan dunia lokal untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda.[5]
Gambaran umum permasalahan
Kecenderungan meningkatnya arus kunjungan wisatawan mancanegara berikut perolehan devisanya dapat kita lihat sampai tahun 2001. Pada tahun itu wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia mencapai 5.153.620 orang dengan perolehan devisa sekitar 5,4 milyar USD. Namun, pada tahun 2002 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara mulai mengalami sedikit penurunan tetapi dengan penurunan perolehan devisa yang cukup signifikan yakni menjadi 4,3 milyar USD. Angka-angka sesudah tahun tersebut sedikit fluktuatif, namun mencerminkan stagnannya perkembangan sektor pariwisata Indonesia. Terakhir angka tahun 2006 menunjukkan bahwa wisatawan mancanegara yang berkunjung adalah 4.871.351 orang dengan perolehan devisa sekitar 4,4 milyar USD.[6]
Gejala yang hampir serupa juga terjadi di Sumatera Barat. Tahun 2004 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tercatat 76.951 orang atau meningkat secara cukup signifikan (29,97 %) dari sebelumnya di tahun 2003 yang hanya 57.283 orang. Akan tetapi, tahun 2005 wisatawan mancanegara yang berkunjung menunjukkan gejala penurunan menjadi 72.462 orang.[7] Kecenderungan yang kurang menggembirakan tersebut tampaknya terus akan berlanjut pada tahun 2007 ini. Sebagaimana diberitakan Kompas, 2 Mei 2007, kunjungan wisatawan mancanegara ke Sumatera Barat lewat Bandara Internasional Minangkabau (BIM) selama bulan Maret 2007, turun 6,54 persen dibandingkan dengan bulan Februari 2007. Penurunan tersebut menjadi lebih tajam karena jika dibandingkan dengan Februari 2006, terjadi penurunan sebesar 19,09 persen.
Turunnya tingkat kunjungan wisatawan mancanegara tersebut berimbas pada tingkat hunian hotel berbintang di Sumatera Barat. Penurunan tingkat hunian hotel terbesar terjadi di Kota Bukittinggi yakni sebesar 13,22 persen. Sekaitan dengan itu, rata-rata lama menginap tamu asing dan nusantara di hotel berbintang selama bulan Maret 2007 di Sumatera Barat juga menurun menjadi 1,61 hari dari sebelumnya 1,82 hari pada bulan Februari 2007. Penurunan kunjungan wisatawan tersebut ternyata sudah diperkirakan Ketua Dewan Pengurus Daerah Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Sumatera Barat, Asnawi Bahar. Bahkan dia memperkirakan sampai dengan bulan September 2007, industri pariwisata Sumatera Barat akan mengalami penurunan yang tajam hingga 50 persen.
Gejala penurunan statistik pariwisata secara nasional, dan khususnya Sumatera Barat, seperti di atas terasa mencemaskan, mengingat besarnya harapan terhadap keberadaan sektor pariwisata sebagai sumber devisa, penciptaan lapangan kerja, dan penggerak perekonomian lokal. Bagi Sumatera Barat kecenderungan penurunan tersebut menjadi ironi mengingat potensi pariwisatanya yang luar biasa, alamnya yang indah, budayanya yang unik, makanannya yang enak dan terkenal, dan seterusnya. Belum lagi jika dibandingkan dengan perhatian pemerintah yang besar dengan dibangunnya infrastruktur yang berkaitan dengan pariwisata seperti jalan yang tambah lebar dan mulus dan telah dioperasikannya bandara baru (BIM) sejak 2 tahun yang lalu.[8]
Secara nasional, penurunan kinerja pariwisata sebagaimana tergambar di atas dikaitkan dengan beberapa hal sebagai berikut:[9]
Pertama, kurang kondusifnya kondisi keamanan dan ketertiban dalam negeri. Aksi pemboman di Jakarta dan Bali tampaknya telah memberikan citra buruk bangsa Indonesia. Beberapa negara sempat mengeluarkan himbauan kepada warganya untuk tidak bepergian ke Indonesia (travel warning). Bahkan beberapa kecelakaan transportasi khususnya pesawat terbang yang kerap terjadi sejak Januari 2007 ini, juga telah menyebabkan beberapa negara tertentu untuk menghimbau warga negaranya agar tidak bepergian dengan pesawat terbang Indonesia. Selain itu, berbagai bencana alam yang datang silih berganti, terutama di daerah tujuan wisata seperti Jakarta (banjir), Yogyakarta dan Sumatera Barat (gempa), sedikit banyak juga turut menyurutkan minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung.
Kedua, maraknya hambatan yang timbul dari berbagai regulasi baik di pusat maupun daerah sebagai dampak pelaksanaan otonomi daerah. Keadaan yang memberatkan pelaku industri pariwisata ini mengakibatkan menurunnya minat dunia usaha di dalam pengembangan objek wisata potensial dan infrastruktur yang berkenaan dengan kepariwisataan. Keinginan pemerintah daerah untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) kadangkala telah membuat beberapa pungutan atau retribusi yang tidak masuk akal dan kontra-produktif. Hal ini melesukan gairah pihak swasta dalam mengembangkan pariwisata di daerah. Sebagai contoh, baru-baru ini di Kota Padang Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) keberatan dan mengajukan protes terhadap Perda kebersihan yang menghitung biaya retribusi sampah berdasarkan meter persegi bangunan.
Ketiga, masih lemahnya pengelolaan sebagian besar daerah tujuan wisata dan aset-aset warisan budaya sehingga kurang atraktif dan kurang mampu bersaing dengan objek-objek wisata di negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Keempat, belum efektifnya kelembagaan pengelolaan pemasaran dan promosi pariwisata terutama ke masyarakat internasional. Apa yang pernah disinggung Wiendu Nuryanti (1991) misalnya, tampaknya masih berlaku hingga saat ini bahwa konsep marketing pariwisata secara nasional dan provinsial belum didukung oleh penelitian-penelitian. Beberapa strategi promosi yang ditempuh diragukan efektifitasnya. Wartawan-wartawan yang dikirim ke negara lain oleh Pemda, misalnya, lebih berguna untuk mempromosikan negara yang dikunjunginya sehingga menarik warga kita untuk jadi wisatawan ke sana, ketimbang mendatangkan banyak wisatawan dari negara tersebut ke daerah kita. Harusnya Pemda bukan mengirim wartawan kita ke sana, tapi mengundang wartawan dari negara-negara yang dianggap potensial sebagai pengirim wisatawan untuk datang ke daerah kita. Begitu juga delegasi-delegasi duta wisata yang dikirim ke berbagai negara dengan biaya yang cukup besar juga dapat dipertanyakan efektifitasnya dalam mempromosikan pariwisata daerah kita.
Permasalahan seperti di atas apabila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh jelas akan membuat beratnya langkah dalam mewujudkan target pembangunan pariwisata nasional yakni meningkatnya kontribusi pariwisata dalam perolehan devisa menjadi sekitar 10 miliar USD pada tahun 2009. Hal yang sama juga akan berlaku bagi Sumatera Barat yang menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 110.000 orang pada tahun 2010. Upaya mencapai target tersebut, khususnya, di Sumatera Barat akan memerlukan kerja keras dan kerja cerdas karena pengembangan dan aktivitas sektor pariwisatanya masih diwarnai dan ditandai oleh beberapa kendala sosial budaya seperti yang akan dipaparkan berikut ini. Kendala sosial budaya ini penting diatasi karena ini akan sangat berkaitan dengan kenangan yang dibawa pulang oleh wisatawan mancanegara ke negaranya. Sementara kenangan yang disampaikan kepada keluarga, dan teman-temannya adalah alat promosi yang paling ampuh untuk menjadikan orang tersebut akan datang atau tidak.
Kendala sosial budaya
Sejumlah hal negatif yang mewarnai pengelolaan pariwisata dan interaksi antara wisatawan dengan orang-orang yang bergerak di sektor pariwisata, telah menjadi kendala sosial budaya yang sering tidak disadari oleh pihak terkait, pelaku usaha pariwisata, dan masyarakat di daerah tujuan wisata atau sekitar objek wisata. Kalau pun disadari hal ini sering dianggap tidak terlalu penting dan kecil, akibatnya orientasi pembangunan pariwisata lebih kepada pembenahan yang bersifat fisik.[10] Sementara itu, sumberdaya manusia yang bergerak di sektor pariwisata agak terabaikan pembenahannya, terutama yang terkait dengan aspek softskill.
Hal ini penting untuk dilihat karena pariwisata adalah industri hospitality, yang maju mundurnya tergantung pada kenyamanan dan keramahan yang terpancar dalam pengelolaannya secara keseluruhan dan dapat dirasakan oleh wisatawan. Lebih dari itu, Kuntowijoyo (1991) menyebutkan bahwa industri pariwisata sebenarnya merupakan bagian dari cultural industry yang melibatkan seluruh masyarakat, sekalipun dikelola hanya oleh sebagian kecil masyarakat. Konsep tuan rumah dengan tamu dapat dipakai sebagai landasan budaya pertemuan antara masyarakat dengan wisatawan. Pertanyaannya apakah konsep-konsep di atas sudah terimplementasi secara baik dalam kegiatan kepariwisataan sehari-hari? Bagi kita di Sumatera Barat pertanyaan tersebut agaknya masih sulit dijawab secara memuaskan mengingat masih kerapnya ditemukan hal-hal seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Pertama, budaya “mumpungisme” yang berkaitan dengan tidak adanya standar harga yang transparan dalam transakasi jasa dan barang yang terkait dengan sektor kepariwisataan. Sekeluarga wisatawan, yang baru mendarat di BIM misalnya akan segera dihadapkan dengan taksi yang tidak memakai argometer, tapi dengan harga yang ditetapkan secara borongan oleh si sopir taksi atau kesepakatan harga yang didapatkan melalui keterampilan “ago-maago”. Mumpung calon penumpang adalah wisatawan asing atau orang Jakarta yang kelihatan banyak duit, maka harga dipatok jadi tinggi. Bagi wisatawan asing dan orang Jakarta, misalnya, ini adalah suatu ketidaknyamanan yang membosankan dan melelahkan karena di tempat asalnya tarif taksi biasanya menggunakan argo.
Lepas dari persoalan tarif taksi seperti demikian, sekeluarga wisatawan tadi, misalnya, lantas pergi makan siang ke suatu rumah makan yang spesifik dengan unggulan gulai ikan yang sudah terkenal di Kota Padang. Tampilan tempatnya biasa saja, tapi makanannya enak, tapi harganya seringkali kurang masuk akal jika dibandingkan dengan tempat lain, yang tampilannya bagus-nyaman, dan makanannya juga enak.[11] Harga makanan dihitung dengan standar yang ada di dalam kepala si pelayan. Secarik kertas kecil yang ditulis untuk menghitung harga makanan yang mesti dibayar tidak menyajikan informasi yang jelas berapa harga bagi setiap makanan dan minuman yang dinikmati konsumen, kecuali angka penjumlahannya. Banyak yang menduga bahwa kendati si pelayan seolah-olah menghitung dengan melihat jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi, tetapi dalam kepalanya dia melakukan operasi penghitungan dengan melihat jumlah orang yang makan di meja tersebut lantas dikalikan dengan harga imajiner yang ada dalam kepalanya.[12]
Terkait dengan budaya “mumpungisme” di rumah makan, harga-harga yang bersifat imajiner tadi biasanya akan dinaikkan menjadi lebih mahal, apabila dilihat rombongan tamu yang datang, misalnya, kelihatan bukan orang lokal, seperti banyak duit, dan datang dengan mobil mewah atau mobil plat merah. Mereka mengabaikan atau mungkin tidak peduli, jika si konsumen atau sekeluarga wisatawan tadi merasa kemahalan dan bercerita kepada kerabat dan teman-temannya serta tidak akan datang lagi ke rumah makan tersebut.[13] Beberapa restoran atau rumah makan yang besar di Padang dan Bukittinggi memang telah mulai menggunakan standar harga yang jelas, tapi sebagian besar rumah makan atau kedai nasi lain yang punya unggulan spesifik, sampai saat ini masih bertahan dengan sistem harga imajiner.
Lepas dari pengalaman rumah makan atau kedai nasi seperti di atas, sekeluarga wisatawan di atas, misalnya, pergi membeli cendera mata atau oleh-oleh produk tekstil olahan lokal seperti kerajinan bordiran di pasa ateh Bukittinggi, namun lagi-lagi dihadapkan dengan tawaran harga yang tinggi dimana wisatawan yang menjadi calon konsumen sulit untuk menawarnya. Kendati, beda dengan di rumah makan yang mem-fait accompli konsumennya, di toko oleh-oleh ini memang pada akhirnya transaksi dilakukan melalui proses tawar menawar, namun tak urung “mumpungisme” yang menjadikan penjual menawarkan barang-barangnya dengan harga yang kelewat tinggi menjadikan kesan kurang baik pada wisatawan.
Gambaran seperti di atas, dapat dihubungkan dengan sifat “mentalitas menerabas” seperti yang pernah dikemukakan Koentjaraningrat (1984:46-47) sebagai salah satu kelemahan masyarakat Indonesia dalam masa pembangunan ini. Sifat ini digambarkannya sebagai cara untuk mendapat keuntungan dengan cara-cara yang tidak lazim atau menyikat keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan. Kendati diakuinya, bahwa mentalitas menerabas itu pada hakekatnya suatu sikap yang boleh dikata universal, dan ada pada hampir semua manusia dalam segala macam bentuk dan lingkungan kebudayaan di dunia, namun dalam observasinya sikap itu tampak menonjol dalam masyarakat Indonesia sekarang ini, termasuk –menurut saya—di Sumatera Barat.
Kendala sosial budaya kedua, menyangkut aspek softskill yaitu pelit senyum dan sulit mengucapkan kata terimakasih, permisi, dan maaf. Jajaran terdepan (frontliners) dari usaha-usaha di sektor pariwisata tampak tidak terbiasa dan terlatih untuk murah tersenyum dan mengucapkan ketiga kata tersebut pada waktunya. Coba kalau menginap di hotel di Padang dan Bukittinggi, misalnya, waktu roomboynya dikasih tips paling dia hanya senyum cengengesan atau sedikit mengangguk tipis, tanpa eksplisit mengucapkan terimakasih. Begitu juga saat kita membayar di kasir rumah makan. Sebaliknya, jika kita komplain terhadap pelayanan tertentu di hotel, misalnya, jarang petugasnya mengucapkan kata maaf.[14]
Kendati sering didengung-dengungkan dan dimuat di buku pelajaran sekolah bahwa salah satu ciri masyarakat Indonesia ialah ramah, namun aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari jarang ditemukan. Khusus bagi masyarakat Sumatera Barat yang umumnya merupakan etnik Minangkabau, sifat dasar mereka yang egaliter, agaknya menjadikannya sulit untuk mengekspresikan senyum maupun ketiga kata yang ampuh tadi untuk menarik dan membuat kesan positif pada wisatawan. Hal ini tidak hanya dapat diamati pada petugas atau orang yang bergerak di sektor pariwisata saja, bahkan juga dalam masyarakat umumnya. Dari pengamatan saya terhadap orang Minang, murah senyum dan mengucapkan kata terimakasih, maaf, atau permisi, secara proporsional pun tampaknya akan merendahkan dirinya di hadapan orang lain.
Hal ini berbeda dengan warga Singapura, misalnya. Menurut sosiolog Fritz E. Simanjuntak, seperti yang baru-baru ini pernah dikutip oleh Kompas, kendati warga Singapura tersebut pada dasarnya tidak ramah (ketus-ketus), namun jika dia bekerja atau bertugas di sektor hospitality dan pelayanan publik maka mereka akan menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaannya itu (profesional). Makanya kalau orang Indonesia berwisata ke Singapura, mereka senang berbelanja karena dilayani oleh pelayan toko yang murah senyum dan ramah, kendati harganya mahal. Makanya juga orang Indonesia senang berobat sambil berwisata ke Malaka dan Singapura, kecuali karena faktor hightech yang mereka tawarkan tapi lebih-lebih lagi karena hightouch yang mereka berikan.
Ketiga, adalah rendahnya budaya mutu dalam pengelolaan pariwisata kita. Mutu dalam hal ini terkait dengan kepuasan total dari pelanggan. Dalam hal ini mutu tidak hanya dilihat dari kualitas barang dan jasa yang diberikan, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dari bagaimana barang dan jasa tadi didelivery atau sajikan pada pelanggan. Kendati pun taksinya bagus, namun sopirnya merokok atau kabinnya bau rokok atau juga menghidupkan tip dengan lagu kegemaran sang sopir, maka penumpang tidak akan nyaman dan puas. Barangkali hanya di Padang dan Bukittinggi, kalau sering dijumpai sopir taksi yang merokok atau menghidupkan tip tanpa permisi pada penumpangnya. Contoh lain, misalnya, ketika petugas rumah makan yang menyandukkan atau menatingkan hidangan-nya kepada pelanggan sambil berbicara atau berteriak satu sama lain. Higienis dari hidangan yang disajikan bisa berkurang atau diragukan.
Kendala ketiga tersebut dapat pula dikaitkan dengan apa yang pernah disinggung oleh Koentjaraningrat (1984) tentang mentalitas yang meremehkan mutu. Penjual jasa atau barang sering telah merasa senang jika telah dapat menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan wisatawan. Namun, jarang sempat memikirkan, memantau dan mengevaluasi apakah barang atau jasa yang dijual tersebut sudah diberikan dalam mutu total terbaik yang mungkin untuk diberikan. Gejala seperti ini, lebih-lebih ada pada penjual barang dan jasa yang merasa tidak ada pesaing dan merasa sudah yang paling baik. Tidak seperti dulu, mungkin karena itu pula, misalnya, jarang rumah makan Padang saat ini yang mencantumkan motto: “Kalau puas beritahu teman, kalau tidak puas beritahu kami”.
Terakhir, dan yang tak kurang pentingnya, adalah rendahnya partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam memajukan sektor pariwisata. Ikut memelihara ketertiban, kenyamanan, dan kebersihan tempat-tempat umum dan objek-objek wisata, misalnya, itu adalah bentuk partisipasi yang paling minimal yang diharapkan dan bisa berkontribusi bagi pembangunan pariwisata di Sumatera Barat. Namun, ini pun jarang ditemukan. Bahkan di beberapa tempat atau objek pariwisata, pengunjung justru merasa tidak aman karena kehadiran oknum-oknum bertampang sangar dan ikut pula mengutip uang dari pengunjung secara tidak resmi atau tanpa karcis.
Rendahnya partisipasi dalam bentuk seperti itu, sebetulnya telah menunjukkan kurangnya “sadar wisata” masyarakat. Bahkan petugas atau pelaku yang bergerak di sektor pariwisata sering tidak sadar bahwa pariwisata yang maju akan mempengaruhi perekonomian mereka dan daerahnya. Akibatnya, walaupun sebagian besar mereka orang Minang yang dikenal pintar berdagang, namun mereka tidak menunjukkan salesmanship ketika berhadapan dengan wisatawan. Kebanyakan mereka, misalnya, kelihatan gagap dan gagal untuk membuat wisatawan betah, banyak belanja, dan mengajak teman atau keluarganya yang lain untuk juga berkunjung.[15]
Penutup
Beberapa kendala sosial budaya yang dikemukakan di atas, tentu dapat ditambah termasuk contoh atau ilustrasinya. Sudah barang tentu, kendala seperti itu, tidak akan bisa di atasi oleh Dinas Pariwisata sendiri, tanpa dukungan dan keterlibatan semua pihak terkait dan masyarakat umumnya. Namun, pemerintah perlu menaruh perhatian yang serius dan besar terhadap permasalahan non-fisik seperti itu, jika tidak sulit untuk mengharapkan sektor pariwisata bisa lebih maju dan diandalkan sebagai tulang punggung perekonomian daerah Sumatera Barat.
Pemerintah daerah dan pelaku usaha sektor pariwisata perlu meningkatkan sumber daya manusia dari petugasnya terutama dalam aspek softskill sehingga membuat wisatawan betah dan memiliki kesan positif dari kunjungannya di Sumatera Barat. Selain itu, Pemda, misalnya, perlu menghimbau usaha-usaha yang terkait dengan sektor pariwisata agar berusaha dengan fair dan menghindarkan diri dari praktek-praktek budaya mumpung yang memberi keuntungan dalam jangka pendek, tapi merugikan secara jangka panjang dan menimbulkan kesan negatif atau citra buruk pariwisata Sumatera Barat.
Referensi
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1984.
The Economist, Pocket World in Figures: 2006 Edition, Profile Books Ltd, London, 2005
Kompas, 29 April 2007.
Wiendu Nuryanti, “Perencanaan Pembangunan Pariwisata di Indonesia”, makalah pada Seminar Dampak Sosial Budaya Pengembangan Pariwisata, PAU UGM, Yogyakarta, 16-17 Desember 1991.
Kuntowijoyo, “Tinjauan Historis Pembangunan Pariwisata di Indonesia”, PAU UGM, Yogyakarta, 16-17 Desember 1991.
Nasikun, “Dampak Sosial-Budaya Pembangunan Pariwisata: Degenerasi atau Transfor-
Masi?”, PAU UGM, Yogyakarta, 16-17 Desember 1991.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia: Perspektif Antropologi, P Pelajar, Yogyakarta, 2002.
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta, 2005.
Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, P Pelajar, Yk, 2004
Sapta pesona dan destinasi
Saat ini telah berkembang industri jasa pariwisata di Indonesia. Dengan dana promosi sejumlah 15 juta Dollar, angka kunjungan nasional naik dari target 6,5 juta wisatawan, dan sepanjang 2008 telah bisa menyumbang devisa sebesar 7,5 Miliar Dolar AS (± Rp 90 Triliun). Tetangga kita Malaysia, meraih 20 juta wisatawan dengan devisa ± Rp 100 triliun dari anggaran promosi sebesar 80 juta dollar AS. Sedang data kunjungan wisatawan ke Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1994 menurut sumber Disparda DIY berjumlah 963.995 orang meningkat jadi 1.792.000 orang (2004), dan 1,6 juta wisatawan (2005). Kenaikan angka-angka ini di tahun 2009 perlu ditingkatkan untuk kepentingan seluruh elemen wisata DIY terutama pemerintah, pelaku wisata dan warga masyarakat seluas-luasnya.
Untuk itu dapat dimengerti jika semua pihak perlu terus memahami karakter dasar industri pariwisata, baik menyangkut kesiapan sarana dan fasilitas kenyamanan, serta daya tarik Kota Yogyakarta sebagai destinasi wisata. Selain tradisi, atraksi seni budaya, kuliner, kerajinan lokal, peraturan dan aneka usaha jasa pariwisata, unsur pariwisata yang patut disebut adalah peran penting Pemandu Wisata dan Buku Panduan Wisata bagi keberhasilan, kemudahan dan kenyamanan wisatawan. Namun hal paling penting adalah kesiapan seluruh warga Kota Yogyakarta sebagai ‘penerima tamu’ yang baik atas kunjungan wisatawan yang datang.
ADA APA DENGAN POKDARWIS
Dahulu masyarakat mengenal Kelompok Sadar Wisata dan merasakan pentingnya program tersebut. Mengherankan, slogan Sapta Pesona Pariwisata era Menteri Soesilo Soedarman (1989) hilang begitu saja ketika periode kementrian berakhir, dan baru muncul 19 tahun kemudian yakni Permen no. PM 04/UM 001/MKP/2008 Tentang Sadar Wisata. Program ini menggambarkan partisipasi dan dukungan segenap masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kepariwisataan di suatu destinasi wilayah.
Pelaksanaan Kelompok Sadar Wisata (Pok Darwis) bisa melalui ceramah, sarasehan, diskusi, kompetisi, percontohan dan perintisan. Ini bertujuan; (1) meningkatkan pemahaman segenap komponen masyarakat untuk menjadi tuan rumah yang baik dalam mewujudkan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya pariwisata serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (2) Menggerakkan dan memotivasi kemampuan serta kesempatan masyarakat sebagai wisatawan untuk menggali dan mencintai tanah air.
Kelompok Sadar Wisata (Pok Darwis) justru mampu menjalin Multi efek kegiatan pariwisata dan dapat meningkatkan harkat warga menjadi bangsa bermartabat. Kesadaran ini mendorong semua pihak agar mau berjalan berwisata di muka bumi tempat berpijak untuk melihat jejak peradaban manusia yang tergelar (QS. siiru fil ardhi…). Demi peningkatan pembangunan bidang Pendidikan, Kebudayaan dan Pariwisata Kota Yogyakarta, maka adanya Pok Darwis merupakan kebutuhan bagi keberhasilan pembangunan Kota. Sudah pasti dari sini akan muncul sinergi antara Pemerintah, Pelaku Usaha Pariwisata, Akademisi, Media dan Ormas setempat.
PENGERTIAN SAPTA PESONA
Sapta Pesona merupakan jabaran konsep SADAR WISATA khususnya terkait dukungan dan peran masyarakat sebagai tuan rumah (host) dalam upaya menciptakan lingkungan dan suasana kondusif yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata Kota Yogyakarta. Jabaran slogan adalah dengan mewujudkan unsur-unsur mantesih siraman:
1. AMAN
2. TERTIB
3. BERSIH
4. SEJUK
5. INDAH
6. RAMAH TAMAH
7. KENANGAN
Uraian Sapta Pesona tersebut menyatu tak terpisahkan di dalam program-program pembangunan kepariwisataan sebagai sektor andalan devisa Nasional, pendidikan Kota, kebudayaan Bangsa, serta program kesejahteraan warga seperti berikut:
1. AMAN
o Suatu kondisi lingkungan destinasi wisata yang memberi rasa tenang, bebas dari rasa takut dan kecemasan wisatawan.
o Daerah tujuan wisata dengan lingkungan yang membuat nyaman wisatawan dalam melakukan kunjungan.
o Menolong, melindungi, menjaga, memelihara, memberi dan meminimalkan resiko buruk bagi wisatawan yang berkunjung.
1. TERTIB
• Destinasi yang mencerminkan sikap disiplin, teratur dan profeional, sehingga memberi kenyamanan kunjungan wisatawan.
• Ikut serta memelihara lingkungan
• Mewujudkan Budaya Antri
• Taat aturan/ tepat waktu
• Teratur, rapi dan lancar
1. BERSIH
• Layanan destinasi yang mencerminkan keadaan bersih, sehat hingga memberi rasa nyaman bagi kunjungan wisatawan
• Berpikiran positif pangkal hidup bersih
• Tidak asal buang sampah/ limbah
• Menjaga kebersihan Obyek Wisata
• Menjaga lingkungan yang bebas polusi
• Menyiapkan makanan yang higienis
• Berpakaian yang bersih dan rapi
1. SEJUK
• Destinasi wisata yang sejuk dan teduh akan memberikan perasaan nyaman dan betah bagi kunjungan wisatawan.
• Menanam pohon dan penghijauan
• Memelihara penghijauan di lingkungan tempat tinggal terutama jalur wisata
• Menjaga kondisi sejuk di area publik,restoran, penginapan dan sarana fasilitas wisata lain
1. INDAH
• Destinasi wisata yg mencerminkan keadaan indah menarik yang memberi rasa kagum dan kesan mendalam wisatawan.
• Menjaga keindahan obyek dan daya tarik wisata dalam tatanan harmonis yang alami
• Lingkungan tempat tinggal yang teratur, tertib dan serasi dengan karakter serta istiadat lokal
• Keindahan vegetasi dan tanaman peneduh sebagai elemen estetika lingkungan
1. RAMAH TAMAH
• Sikap masyarakat yang mencerminkan suasana akrab, terbuka dan menerima hingga wisatawan betah atas kunjungannya
• Jadi tuan rumah yang baik & rela membantu para wisatawan
• Memberi informasi tentang adat istiadat secara spontan
• Bersikap menghargai/toleran terhadap wisatawan yang datang
• Menampilkan senyum dan keramah-tamahan yang tulus.
• Tidak mengharapkan sesuatu atas jasa telah yang diberikan
1. KENANGAN
• Kesan pengalaman di suatu Destinasi wisata akan menyenangkan wisatawan dan membekas kenangan yang indah, hingga mendorong pasar kunjungan wisata ulang
• Menggali dan mengangkat budaya lokal
• Menyajikan makanan/ minuman khas yang unik, bersih dan sehat
• Menyediakan cendera mata yang menarik
Maka mari memulai… perhatikan.. lakukan Program ini! OBYEK WISATA KOTA membutuhkan berfungsinya Kelompok SADAR WISATA!
Jika telah terbentuk Pok Darwis di wilayah Anda, berusahalah memanfaatkan Kelompok tersebut dengan mensosialisasikan program SAPTA PESONA…! Datangnya wisatawan hanyalah sarana untuk memberdayakan potensi masyarakat, dan ujungnya adalah meningkatnya ‘kesejahteraan’ warga demi hidup lebih berkualitas.
POKDARWIS KOTA MAU KEMANA
Patroli Pariwista Jogjakarta
Mengintensifkan Slogan Sapta Pesona dengan variasi agenda kegiatan Sadar Wisata dari kreativitas masyarakat adalah langkah mendesak bagi segenap elemen pariwisata. Pemerintah perlu terus memfasilitasi Gerakan ini menjadi pertemuan kedasadaran baru masyarakat, bahwa Pok Darwis bisa mengantar mereka kepada tujuan kesejahteraan dan Citra Kota yang nyaman.
Revitalisasi Sadar Wisata Menuju Kesejahteraan Warga
Program Pokdarwis memiliki dua sasaran pokok yaitu bagaimana menjadi TUAN RUMAH yang baik dan ikut menikmati kunjungan wisatawan hingga mampu meningkatkan ‘nasionalisme’ bahkan bisa merasakan menjadi wisatawan. Realisasi pokdaswis adalah dengan melaksanakan SAPTA PESONA, hingga mendorong Destinasi menjadi lebih bersaing, meningkatkan jumlah wisatawan yang datang, mendorong pembangunan lokal dan peluang kerja warga masyarakat. Dengan demikian program ini bagi masyarakat adalah demi peningkatan kesejahteraan hidup.
(Sumber: Panduan Sadar Wisata, 2008)
PENUTUP
Sosialisasi dan revitalisasi yang efektif dipaparan makalh ini perlu diwujudkan diatas kesadaran, bahwa budaya Jawa akan tetap diminati warganya, sehingga wisatawan yang datang merasakan pengalaman kunjungan selama di Yogyakarta sebagai atraksi kebudayaan yang sebenarnya dengan lingkungan sejarah dan alam yang mempesona. Mungkinkah kesadaran masyarakat seiring dengan mitra pemerintah dan wisatawan yang datang? Mari buktikan bahwa kita bisa! ***[]
Sumber Tulisan:
1. Buku Panduan Sadar Wisata, Baparda Propinsi DIY, 2008.
2. Makalah Paket Wisata Seru Wisatawan Pasti Mau, disampaikan Penulis dalam Workshop
Pengembangan Pariwisata Kota Yogyakarta bersama Dinparbud Kota Yogyakarta, di Hotel Ruba
Graha hari Selasa 19 Mei 2009.
*) Disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pramuwisata Indonesia DIY pada acara Re-Organisasi POKDARWIS Kota, Dinas Pariwisata Budaya Kota Yogyakarta hari Sabtu tanggal 20 dan 27 Juni 2009 di Ruang G Beteng Vredeburg Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar