Senin, 26 Oktober 2009

PRODUK GO INTERNASIONAL



Parade Merek-merek Orisinal
Kamis, 14 Mei 2009
Oleh : Sudarmadi
Di tengah gempuran asing, banyak merek asli Indonesia berjaya dan menjadi tuan di negeri sendiri. Beberapa bahkan sukses di pasar internasional. Siapa saja?

Februari 2009. Bandara Soekarno-Hatta.

“Sepatumu merek apa? Kalau saya pilih Buccheri. Soalnya ini merek dari luar, kualitasnya bagus. Bahannya asli dari kulit.”

Seorang wanita muda dengan bangga mengatakan hal itu kepada lawan bicaranya via ponsel saat menunggu penerbangan Jakarta-Singapura.

Bagi yang tidak tahu, percakapan ini mungkin biasa saja. Tak ada yang aneh. Namun bagi yang tahu, hal itu sangat menggelikan. Sebab Buccheri adalah 100% asli merek Indonesia, diproduksi PT Vigano Cipta Perdana.

Sesungguhnya, Buccheri – merek lokal yang dianggap buatan asing itu – tidaklah sendirian. Beruntung, di pasar dalam negeri, terdapat sederet merek asli Indonesia yang sukses menjadi pemain besar di industrinya, punya pangsa pasar signifikan, dan dikenal secara luas oleh masyakat dengan citra yang bagus. Dan rasanya, bukanlah sebuah kata yang berlebihan bila kita menyebut merek-merek itu sebagai Indonesia Original Brands (IOB), merek-merek asli Indonesia.

Buccheri sebagaimana disebut di atas hanyalah contoh. Sederet merek lainnya tidak sulit untuk disebut, mereka datang dari industri yang beragam. Setidaknya itu bisa diamati dari 250 IOB yang berhasil dijaring tim SWA dengan beberapa kriteria. Antara lain: lahir dan dipatenkan di Indonesia; kinerjanya layak dibanggakan (termasuk pemain top di industrinya); ada konsep R&D produksi branding yang jelas di Indonesia – bukan sekadar melakukan impor yang semua pekerjaan termasuk R&D dialihdayakan (outsourcing) ke mitra luar negeri; dan usia merek minimum sudah lima tahun. Tentu saja selain 250 merek, sangatlah dimungkinkan terdapat merek lain yang fit disebut IOB.

Di bisnis sepatu formal sebagaimana digarap Buccheri misalnya, juga ada Edward Forrer (Bandung) dan Pakalolo (PT Teguh Murni, Tangerang). Lalu di bisnis sepatu kasual, ada merek Spotec, Tomkyn, Piero, New Era, Spec, Ardiles, Loggo, dan beberapa nama lain. Masih di bisnis footwear, tepatnya di bisnis sandal ada nama Zandilac dan Carvil yang posisinya di pasar juga kuat baik dari sisi citra merek maupun pangsa pasar.

Dari sejumlah merek asli yang sukses, fashion dan apparel merek asli Indonesia memang terhitung mampu berbicara banyak. Bahkan bisa dikatakan fenomenal karena menjadi tuan di negeri sendiri.

Pada umumnya mereka yang sukses itu sengaja membidik pasar segmen medium di ceruknya masing-masing. Contohnya di bisnis tas. Fenomena yang tak bisa dielakkan bahwa penguasa tas dalam negeri merupakan merek-merek asli Indonesia dari Bandung. Mulai dari Exsport, Eiger, Bodypack, Neosack hingga Elizabeth. Di pasar tas juga patut dicatat pemain tas travel yang cukup sukses seperti President yang bahkan eksis di mancanegara.

Lalu, di pasar kemeja, di antara kita mungkin tak menyangka bahwa merek laris seperti Hammer, Nail, Poshboy, Nevada, St Yves, Andre Laurent, Jackerton, The Executive, Watchout, Triset, Cardinal dan Woods juga terbilang merek asli Indonesia. Demikian pula merek pakaian dalam seperti Riders, GT Man dan Hings. Pemiliknya begitu piawai membangun merek sehingga bisa dikenal dan bahkan terkesan sebagai merek dari luar.

Dalam pengamatan Perry Tristianto, pelaku bisnis fashion yang juga pemilik jaringan factory outlet The Big Price Cut, sekitar 90% busana yang beredar di Indonesia buatan dalam negeri. “Hanya 10% yang impor,” katanya. Kendati demikian, dari yang buatan dalam negeri, banyak juga yang ditempeli merek asing, baik asli maupun palsu. Hanya saja dia mengakui, di bisnis busana pemain lokal banyak bicara.

Tak hanya di sektor ini merek asli Indonesia berjaya dan mampu mengimbangi penetrasi merek asing. Ambil contoh lain di bisnis cat tembok (dekoratif) dan cat kayu. Bukan rahasia lagi, di pasar nasional pemain cat multinasional sudah lama berkecimpung. Mulai dari ICI Paint (Dulux), Kansai Paint, Nippon Paint, hingga Jotun. Toh nyatanya, beberapa merek asli Indonesia sanggup berkembang tak kalah dari mereka itu.

Contohnya Mowilex (Jakarta) dan Avitex (Avian Paint, Surabaya). Kedua merek asli Indonesia ini sukses menjadi merek besar di segmennya masing-masing. Mowilex eksis di segmen cat premium menantang Dulux. Sementara Avitex bersaing dengan pemain medium asing dari PMA seperti Catylac, Metrolite dan Vinylex. Demikian pula di segmen cat kayu, merek yang berjaya justru merek asli Indonesia seperti Emco (Mataram Paint), Impra (Propan Raya) dan Kuda Terbang.

Masih di bisnis bahan bangunan, merek lokal juga mampu tampil menjadi tuan di negeri sendiri. Contohnya Vinilon di segmen pipa PVC, Penguin (tangki air), Sango (perabot keramik), Esenza (ubin keramik), Roman (ubin keramik), Karang Pilang (genteng), Kanmuri (genteng), hingga Djabesmen (asbes).

Di bisnis sepeda pun pemain lokal bisa menepuk dada. Kalau di masa lampau pasar sepeda dikuasai Cina dan Eropa seperti Gazelle dan Phillips, kini era penguasaan asing itu telah bergeser. Lihat saja merek yang penjualannya masif, justru Wym Cycle, Polygon dan United Bike, yang notabene pemain lokal. Hanya saja, untuk bisnis sepeda motor memang belum ada pemain lokal yang mengais pasar signifikan. Kanzen misalnya, masih jauh tertinggal dari merek multinasional seperti Honda, Yamaha dan Suzuki. Sementara itu, Vipros buatan Mega Andalan Kalasan masih ditunggu kehadirannya setelah soft launching akhir 2008.

Di sektor yang padat teknologi seperti sepeda motor, memang masih sulit bagi pemain lokal untuk mengimbangi pemain multinasional. Hal itu juga diakui Fandi Tjiptono, pengajar bidang pemasaran dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta. “Di sektor hi-tech yang butuh investasi modal, keterampilan, penguasaan teknologi dan jejaring bisnis luas, biasanya merek lokal di negara berkembang kalah bersaing dengan perusahaan multinasional,” Tjiptono menegaskan. Toh dia tak menampik bila ada pemain-pemain yang mampu menjadi perkecualian.

Tampaknya Tjiptono tidak salah. Beberapa pemain lokal memang bisa tampil menjadi perkecualian. Mereka cukup sukses berkiprah di bisnis yang butuh penguasaan teknologi. Contohnya, PT Hartono Istana Teknologi (Grup Djarum) yang secara gemilang membangun merek Polytron di segmen elektronik konsumer. Polytron sanggup bersaing dengan pemain global seperti Samsung, Sony, Sanyo dan LG. Di beberapa segmen, Polytron yang asli Kudus ini justru unggul, contohnya di pasar kompo. Hal yang sama juga terjadi pada Modena, Sanken dan Cosmos yang juga sukses di segmen electronic home appliances meski pemain lokal.

Malahan di segmen PC, pemain asli Indonesia mulai tampil pula. Merek lokal seperti Zyrex, Relion, Ion, Beyond belakangan makin eksis. Di pasar monitor PC, saat ini dua pemain terbesarnya adalah Samsung dan GTC. Samsung tak asing lagi, dari Korea. Sementara GTC merupakan pemain Indonesia, diproduksi PT Galva Technology Corporation. Ujang Sumarwan, guru besar yang juga pengajar bidang pemasaran Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB menunjuk masuknya beberapa pemain lokal di bisnis notebook seperti merek Axioo, Advance dan Beyond. “Meskipun belum terlalu berkembang, ini merupakan awal yang bagus,” katanya.

Rhenald Kasali berpendapat, merek sukses yang layak menyandang IOB memang cukup banyak, dari kecap hingga maskapai penerbangan. Namun secara umum dia membaginya menjadi dua, yakni pertama, merek yang benar-benar dibesarkan oleh sang pemilik merek. “Di lini ini kebanyakan untuk produk consumer goods. Sebut saja Kapal Api, Kecap ABC, Tolak Angin, dan banyak lagi,” katanya. Yang kedua, yang dibesarkan oleh negara seperti Bank Mandiri, Garuda Indonesia, dan sejenisnya. “Jumlah merek asli Indonesia lebih banyak dibanding Singapura yang hanya memiliki beberapa merek lokal,” kata Rhenald.

Untuk consumer goods, kebanyakan merek dibangun dari daerah. “Merek yang membanggakan tentu saja yang bisa menasional,” ujar Rhenald. Dia menunjuk contoh Kapal Api. Merek itu bermula dari usaha jualan kopi keliling tahun 1970-an, kemudian mulai beriklan di radio era 1980-an. Pada akhirnya menjadi kopi nasional dan belakangan mendirikan kedai kopi Excelso. “Merek yang bisa naik kelas seperti ini yang bagus,” tuturnya. Contoh lain seperti Sido Muncul atau Garuda Indonesia yang mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Merek-merek itu disebutnya selain naik kelas juga mampu menunjukkan kinerja bagus dan kompetitif. “Artinya, mereka tetap bisa mendapatkan keuntungan tanpa bergantung pada keadaan ekonomi. Meski ekonomi lagi krisis, mereka masih bagus,” tambah Rhenald.

Dalam pandangan Ujang, merek asli Indonesia yang sukses dan mampu menasional rata-rata karena pengelolanya mampu mengetahui apa kebutuhan konsumen dan mampu menyediakan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Dia menyebut beberapa merek rokok seperti Dji Sam Soe, Gudang Garam, A Mild dan Djarum, yang sukses karena membaca selera pasar, ditambah kemampuan membangun infrastruktur dan strategi pemasaran yang baik.

Aqua pun demikian. “Pemiliknya tahu ada kebutuhan air minum yang siap dikonsumsi, sementara di Indonesia belum ada infrastruktur air bersih. Sisi entrepreneurship-nya memang luar biasa, dan dia bisa melihat apa yang dibutuhkan orang, dipadukan sengan strategi yang kreatif secara terus-menerus,” Ujang berkomentar. Begitu pula Sosro, pemiliknya tahu betul konsumen Indonesia yang suka teh, hanya saja sebelumnya konsumen harus membuat dan menyajikan teh sendiri – tidak ada yang siap diminum. “Sosro mengeluarkan produk teh yang siap minum sehingga konsumen memperoleh kemudahan dalam mengonsumsi,” kata Ujang seraya menujuk Sosro sebagai merek asli Indonesia yang layak dibanggakan.

Jahja B. Soenarjo, pengamat pemasaran dari Direxion Consulting menambahkan, sejumlah merek sukses yang tergolong sebagai original brand, antara lain Olympic (furnitur), ABC (baterai, kecap, saus, dan lain-lain), Daia, Tango, Silver Queen, Hotel Santika, Sari Ayu, J.Co Donuts, Kuku Bima dan Tolak Angin. “Silver Queen sudah melegenda, sukses di pasar ekspor, dan berhasil membendung kiprah Cadbury di pasar lokal. Sementara J.Co sukses di dalam negeri dan sekarang mulai masuk pasar global (masuk Singapura),” kata Jahja.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia tampaknya juga mesti belajar dari sukses Grup Wings yang menetaskan banyak original brand yang tak hanya sukses di pasar domestik tapi juga global. Merek-merek Wings layak dikagumi karena berhasil menyejajarkan diri dengan produsen FMCG multinasional seperti Unilever. Sebut saja So Klin, Daia, Nuvo, Mama Lemon, Giv, dan lain-lain. “Strategi Wings sebenarnya sederhana tapi mujarab. Wings memproduksi produk dengan harga sedikit di bawah produk MNC yang akhirnya membuatnya sukses besar,” papar Agus W. Suhadi, pengajar di Prasetiya Mulya.

Agus mengamati, merek lokal Indonesia yang juga berpeluang besar untuk maju ada di kategori makanan dan minuman. “Ini terkait dengan taste lokal. Yang lebih dikenal tentu orang Indonesia sendiri,” katanya.

Sinyalemen itu tak berlebihan. Di pasar domestik khususnya, banyak merek asli Indonesia yang sukses menjadi merek besar. Beberapa contoh bisa disebut seperti Ultra Jaya (susu), Bimoli, Indomie, 2 Tang, Sosro, Aqua, Vit, Nasional (kecap dan saus), ABC, Bango, Mie Sedaap, Filma, Mie Superior, Marimas, Nutrisari, Relaxa, Hexos, dan lain-lain (lihat: Tabel).

Tidak terlupakan, di bisnis obat-obatan over the counter (OTC) alias obat bebas, merek-merek lokal pun cukup dominan. Meski di Indonesia banyak perusahaan farmasi asing, di segmen OTC pemain lokal lebih berjaya. Hal itu terlihat dari kiprah merek yang diusung perusahaan lokal terkemuka seperti Grup Kalbe Farma (Procold, Promag, Cerebrovit, Komix, Bintang Toedjoe, Extra Joss, dan lain-lain); Grup Tempo Scan Pacific (Hemaviton, Bodrex, Bodrexin, Oskadon, dan lain-lain); Konimex (Paramex, Inza, Konidin, dan lain-lain), dan sebagainya.

Selain merek-merek di produk konsumer itu, di Indonesia juga terdapat sejumlah pemain korporat yang sukses membangun merek hingga bisa sejajar atau bahkan mengalahkan pemain asing. Contohnya di bisnis perhotelan ada Santika, Mulia dan Horison. Lalu di bisnis ritel berbasis gerai ada Alfamart, Indomaret, K-24, J.Co, Gramedia, Gunung Agung, Matahari, Ramayana, Hero. Di segmen ini pemain asing seperti Wal-Mart bahkan gagal, sementara 7 Eleven akan datang kembali mencoba peruntungannya. Lalu ada pula Lion Air dan Garuda.

Ujang mengamati, sebenarnya ada beberapa produk kuat di daerah (pasar lokal) – terutama produk makanan. Contohnya, di Medan ada bika Ambon Zulaikha. “Merek itu sangat kuat di Medan. Kalau orang ke Medan pasti ingin membeli merek itu untuk oleh-oleh. Selain itu, di Palembang ada Pempek Pak Raden,” katanya. Di daerah banyak pula rokok merek lokal. Begitu pun di segmen AMDK, Ujang memberi contoh di Sumatera Barat ada air minum kemasan merek SMS. “Merek ini dipasarkan di hampir seluruh Sumatera Barat,” katanya.

Di Manado ada minuman khas beralkohol dengan merek Cap Tikus yang kandungan alkoholnya sampai di atas 40%. Selain itu juga produk sabun, penyedap rasa (di Jawa Tengah populer penyedap rasa Cap Mobil), dan juga pemain roti seperti Sari Roti. Pada umumnya merek-merek tersebut belum menasional karena keterbatasan sumber daya kapital, SDM dan skill, sehingga kapasitas produksi dan pemasarannya terbatas di wilayah tertentu. “Kalau mereka ada sentuhan kapital mungkin bisa menasional. Seperti Bango yang merupakan merek lokal, dimiliki Unilever, dan dipasarkan secara nasional,” tambah Ujang.

Tjiptono menambahkan, “Di negara berkembang merek lokal yang berkinerja bagus umumnya memang terjadi di sektor tradisional dan yang berkaitan dengan local values dan local preferences.” Salah satu faktor yang juga berkontribusi untuk itu adalah out of sight, out of mind strategy. Artinya, karena lingkupnya sangat terbatas, maka merek lokal dan sektor bisnis tertentu cenderung luput dari radar atau pemantauan perusahaan besar (termasuk perusahaan multinasional). “Implikasinya, merek-merek ini mampu bertahan lama,” tambah Tjiptono.

Rhenald tak menampik, IOB memberikan andil besar pada perekonomian. Sebab, di Indonesia jumlah merek lokal banyak dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. “Sektor ini sangat tahan terhadap krisis global, kontribusinya sangat besar,” ia menjelaskan. Sinyalemen Rhenald diperkuat Thomas Dharmawan dari Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia. Tahun 2008, menurut Thomas, diperkirakan pasar makanan nasional total mencapai sekitar Rp 400 triliun. Sebagian besar dikontribusi pemain lokal baik kelas korporasi maupun perusahaan menengah dan rumah tangga.

Ya, Indonesia sesungguhnya punya banyak aset berupa merek lokal yang hal ini tentu saja bisa dikembangkan lebih lanjut. Berdasarkan riset SWA, dari hasil survei merek baik Indonesia Best Brand Award (IBBA) maupun Indonesia Customer Satisfaction Award (ICSA), jumlah merek yang menjadi finalis atau the best five di setiap kategori survei lebih banyak pemain lokal. Persisnya: 64% merek-merek terbaik dari survei IBBA adalah merek lokal, sementara pada survei ICSA sekitar 55%.

Rhenald menyarankan, agar IOB bisa makin berkembang, mereka harus melakukan dua langkah utama. Pertama melakukan perbaikan manajemen internal. Mayoritas pemilik merek nasional ini adalah perusahaan keluarga. Pengelolaannya pun masih konvensional berdasarkan entrepreneurship sang pemilik. Sebagian dari mereka belum banyak menggunakan profesional. Kalau pun ada profesional paling banter masih punya garis keluarga. “Ini yang harus segera dibenahi,” katanya.

Yang kedua, perlu knowledge management. Sebab, untuk menasional atau menginternasional mereka harus punya metode yang “tercatat”. Maksudnya, beberapa standar internasional seperti ISO. Dengan memiliki knowledge management mereka bisa mengetahui peta pasar dan bisa membuat produk yang sesuai dengan selera pasar. Misalnya untuk produk teh. Di beberapa negara harus memasukkan teh hitam dan negara tertentu teh hijau. Di India misalnya, tidak bisa tidak harus memasukkan teh hitam.

Rhenald juga menyayangkan sebagain besar merek lokal sebatas bermain di pasar domestik. Kalau pun mendistribusikan ke luar, paling hanya orang luar negeri yang berasal dari Indonesia – kecuali beberapa merek seperti Indofood dan Wings yang sasarannya orang-orang Afrika.

Selain upaya dari pemilik merek, pemerintah juga harus ikut andil untuk terus mengibarkan IOB. Seharusnya, pemerintah mematenkan merek asli Indonesia di kancah internasional. Seharusnya pemerintah juga mengajak para pengusaha membuat perwakilan dagang di luar negeri yang tugasnya menjaga dan memasarkan produk Indonesia. “Driver-nya masih permintaan pasar, bukan bagaimana mengepung pasar,” katanya.

Gabriel Montadaro, Consumer Channel Head Lighting Sector Philips Electronics (Thailand) Ltd., memberi catatan: untuk menjadikan merek lokal menuju pentas regional ataupun go international diperlukan komitmen manajemen, kesabaran dan daya juang perusahaan yang lebih besar lagi. “Kompleksitas perdagangan internasional membuat perusahaan tak hanya harus mampu membuat produk sesuai dengan selera pasar yang dituju, melainkan diperlukan kesabaran dan komitmen tinggi. Belum lagi dengan adanya investasi yang pada awal perjalanan pasti lebih besar dibanding revenue-nya,” Gabriel berpesan. Termasuk komitmen di sini adalah mempromosikan diri sehingga tidak ada lagi anak negeri yang menganggap merek lokal yang dibanggakannya adalah buatan asing seperti yang dialami Buccheri.


Reportase: Eddy Dwinanto Iskandar, Gigin W. Utomo, Kristiana Anissa, Sigit A. Nugroho dan Siti Ruslina
Riset: Rohmat Purnadi


URL : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=9224

Print | Tutup Window

1 komentar:

omyosa mengatakan...

TIP BELANJA ONLINE
AND INFO PRODUK FESYEN, LOKAL TETAPI KUALITAS EXPORT

Nih tip belanja online yang aman dan tidak beresiko. Kita harus tahu persis kredibilitas dan keberadaan toko online ybs. Sekedar info buat kamu-kamu yang suka produk-produk fashion exclusive, berkualitas dan harganya itu loh, kereen banget.
Produknya apa aja sich : Sementara yang ada sekarang berupa barang-barang kulit sepert sepatu, sandal, tas, dompet, sabuk dll untuk pria dan wanita tentunya, dan akan menyusul produk-produk dari tekstil seperti busana ekslusive dan sejenisnya.
Kamu datang aja ke : SHOP OFFICE “BRAKING2U” di Mangga Dua Square Lantai 2 Blok B 1 No : 7, 8, dan 9 setiap hari mulai pukul 11.00 siang sampai dengan pukul 22.00 malam.
Dijamin kamu akan sangat puaaas, karena dapat produk berkualitas.
Untuk mendapat discount menarik kamu hubungi aja yang kuasa disana. Namanya pak I G MADE EKAMAYA, orangnya kereen loh. Nich HP-nya 081218819969 and belanja berikutnya kamu gak usah datang, kesana!!!! cape dech, karena kamu akan dapat katalog, dan katalog akan di upgrade setiap ada produk baru muncul, and kamu bisa belanja online yang amaaaaaannnnn.
Eh tapi jangan lupa loch, kamu kan udah dapat informasi dari aku nich, kalo ditanya dari siapa tahunya? kamu jawab aja dari temennya Antin atau temennya Mas Windhu yang punya id=00001227.
Aku jamin kamu dapat discount yang lumayan gede dan kamu gak nyesel sama produknya. And kamu juga bisa dapat Id-nya biar kamu and temen-temen kamu bisa dapat discount juga. oke? tq.